TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengisyaratkan menolak rencana Pemerintah Aceh yang memakai bendera mirip Gerakan Aceh Merdeka sebagai lambang provinsi. Ia menyatakan, substansi peraturan daerah atau qanun lambang dan bendera Aceh perlu dikaji ulang. "Yang jauh lebih penting substansi dalam rancangannya," kata Djoko di kantornya, Senin, 15 April 2013.
Menurut dia, masalah selama ini bukan pada di aspek legal formal dan proseduralnya, tapi pada substansi aturan tersebut. Jika dilihat dari sisi legal, formal, dan prosedural, maka qanun bendera dan lambang sudah sesuai. Djoko mengatakan, Qanun ini lahir dari tahapan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hingga sidang paripurna.
Jumat tiga pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan dua qanun atau peraturan daerah mengenai wali Aceh serta bendera dan lambang Aceh. Namun, belakangan qanun tersebut mendapat sorotan. Sejumlah kalangan menganggap bendera yang disahkan itu bergambar bulan dan bintang, mirip simbol yang dipakai gerakan separatis GAM.
Djoko menyatakan, hal yang perlu dilihat dalam substansi qanun kemungkinan pertentangan dengan peraturan pemerintah atau undang-undang. Hal ini juga diklaim sebagai kesepakatan antara pemerintah dan pemerintah Aceh. "Undang-undang Pemerintah Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 masih berlaku. Acuannya itu saja."
Pertemuan lanjutan juga masih harus digelar, menurut Djoko, salah satunya karena masih ada tanda-tanda usaha mempermasalahkan PP 77 dalam penerapan di masyarakat. Sebagai langkah lain, pemerintah akan menggunakan nota kesepahaman Helsinki jika diperlukan sebagai dasar diskusi dengan pemerintah Aceh tentang qanun.
Djoko menegaskan, MOU Helsinski yang kemudian diadopsi di UU dan PP adalah penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua. Hal ini dilakukan meski pemerintah pernyataan dari pemerintah Aceh bahwa tidak ada usaha separatisme dalam penerbitan qanun.
Senada dengan Djoko, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai penggunaan bendera yang mirip simbol GAM rawan ditiru daerah lain. Dia khawatir bakal memicu potensi separatis di daerah lain. ”Kalau Aceh diizinkan pakai simbol mirip GAM, bisa-bisa Papua dan Maluku ikut pakai bendera kelompok separatis di wilayah masing-masing,” ujar Gamawan.
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, Abdullah Saleh, berkukuh bahwa GAM tidak lagi dapat digolongkan sebagai kelompok separatis. Menurut dia, label separatis pada GAM tidak relevan karena sudah ada proses damai dengan pemerintah Indonesia dalam kesepakatan yang diteken pada 15 Agustus 2006 di Helsinki, Finlandia.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, bendera Aceh merupakan produk hukum yang disetujui masyarakat Aceh. Ia mengklaim pengesahan qanun berdasar aklamasi. Tidak hanya oleh Partai Aceh, yang mewadahi bekas anggota GAM, tapi juga disuarakan partai lain, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrat. “Tidak mudah mengubah keputusan yang disetujui publik,” ujar dia.
FRANSISCO ROSARIANS | PRAGA UTAMA
Berita Terpopuler:
Majalah Tempo Hilang dari Peredaran
Aceng Fikri dan Ahmad Dhani Jadi Capres Idaman NU
Gaun Agnes Monica di Film Tom Cruise, 'Berbahaya'
Ribuan Orang Nonton Langsung Chris John Vs Satoshi
Hati-Hati dengan Dua Trik Pencurian Pulsa Ini