TEMPO.CO, Kediri - Sejumlah sentra pertanian bawang merah di Kabupaten Nganjuk mengalami penurunan produksi akibat musim hujan yang mendera. Hal ini memicu seretnya pasokan ke pasar tradisional hingga memicu lonjakan harga.
Juru bicara Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Abdul Wahid, mengatakan, kondisi pertanian bawang merah di wilayahnya mengalami kehancuran selama musim penghujan ini. Banyak petani bawang yang tak bisa memanen karena lahannya terendam air. "Panenan musim ini memang rusak," katanya saat dihubungi Tempo, Rabu, 13 Maret 2013.
Menurut Wahid, ada tiga titik di Kabupaten Nganjuk yang menjadi sentra bawang merah. Yaitu di Kecamatan Sukomoro, Bagor, dan Gondang. Ketiga lokasi itu tak mampu memenuhi kebutuhan bawang merah yang selama ini menjadi ikon komoditas Kabupaten Nganjuk.
Saat ini, dinas pertanian setempat masih menginventarisasi jumlah penurunan produksi bawang merah di tiga tempat tersebut. Wahid belum mengetahui apakah keran impor bawang akan dibuka untuk menstabilkan harga di pasaran.
Banyaknya kasus gagal panen ini memicu kenaikan harga yang luar biasa. Para pedagang di pasar besar bawang Kecamatan Sukomoro mematok harga fantastis. Bawang merah lokal ukuran kecil yang sebelumnya dijual Rp 5.000 dijual Rp 13 ribu per kilogram. Bawang merah ukuran sedang yang sebelumnya Rp 9.000 dijual Rp 19 ribu per kilogram. Sedangkan bawang lokal super seharga Rp 16 ribu kini melambung hingga Rp 27 ribu per kilogram.
Kenaikan harga ini membuat keuntungan para pedagang berlipat. Mereka mengaku mengeruk laba hingga Rp 100 ribu setiap kuintalnya, dari nilai Rp 30 ribu sebelumnya. "Sayang, jumlah barangnya sedikit," kata Laminem, pedagang di Pasar Sukomoro.
Dia berharap kenaikan harga ini berlangsung cukup lama. Sebab, pada musim panen sebelumnya, komoditas tersebut justru tak bernilai sama sekali. Hal ini pula yang memicu menurunnya jumlah petani yang menanam bawang merah kali ini.
HARI TRI WASONO