TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Indonesia kesulitan membayar uang tebusan (diyat) bagi Tenaga Kerja Indonesia yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Diyat dibayarkan agar TKI yang didakwa melakukan pembunuhan tidak dihukum mati atau mendapatkan keringanan hukuman.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengatakan, kini ada 23 TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi karena didakwa terlibat pembunuhan. Mereka sangat mengharapkan bantuan diyat. Masalahnya, "Pemerintah kesulitan menggalang dana itu,” kata Jumhur seusai meneken nota kesepahaman dengan Palang Merah Indonesia (PMI) di Hotel Rich Yogyakarta, Jumat 22 Februari 2013.
Salah seorang TKI yang terancam dihukum mati berasal dari Ungaran, Jawa Tengah. Satinah, nama buruh migran itu, terancam hukuman mati karena terlibat pembunuhan di Arab Saudi. Salinah kesulitan membayar diyat sebesar tujuh juta real (sekitar Rp 21 juta) yang dituntut keluarga korban. “Batas waktunya Juni mendatang. Saat ini sudah ada dermawan Arab Saudi yang membantu satu juta real,” kata Jumhur.
Ketua Umum PMI Jusuf Kalla mengatakan ada dua kriteria pembunuhan yang dilakukan TKI di luar negeri. Pertama, pembunuhan untuk membela diri atau terpaksa. Kedua, pembunuhan untuk kejahatan. “Membunuh untuk membela diri itu yang patut dibela dengan menyediakan diyat,” kata Kalla.
Menurut Kalla, perlindungan harus diberikan terhadap calon TKI, TKI di luar negeri, dan TKI yang telah pulang kampung. Perlindungan juga harus diberikan kepada TKI yang bekerja ke luar negeri tanpa melalui prosedur legal, misalnya masuk ke negeri orang melalui perdagangan manusia, penyelundupan, atau tanpa surat. “PMI tak mempersoalkan TKI yang tidak mempunyai dokumen, karena sifat kami universal untuk menolong sesama,” kata Kalla.
PITO AGUSTIN RUDIANA