TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu, memprotes penangkapannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Terdakwa kasus suap terkait dengan pengurusan sertifikat perkebunan kelapa sawit itu mengatakan penangkapannya tak manusiawi.
"Saya ditangkap sebagai tersangka tanpa melalui pemeriksaan dan dua alat bukti yang cukup," katanya, saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 28 Januari 2013.
Amran menceritakan, dirinya ditangkap oleh KPK yang dibantu satuan Detasemen Khusus Antiteror 88 pada 6 Juli 2012 sekitar pukul 04.00-05.00. Tanpa basa-basi, tim itu langsung mendobrak pintu rumahnya, lalu menyeretnya dengan todongan senjata laras panjang.
Kepada para penangkapnya, Amran sempat meminta izin untuk melakukan salat subuh dan mengganti sarungnya dengan celana panjang. Tapi permintaan ini tak dikabulkan. Amran pun kecewa karena tim Densus juga mengarahkan senjatanya kepada anak dan ibunya.
Mereka pun menodongkan senjata kepada istrinya saat meminta tanda tangan berita acara penangkapan. Menurut dia, ini membuat keluarganya shock dan trauma. "Sampai sekarang masih meninggalkan trauma psikis dan trauma yang mendalam," ucap dia.
Selain soal penangkapan, Amran juga menceritakan karier politiknya sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Buol dan Bupati Buol lewat Partai Golkar. Dia menyebutkan berbagai penghargaan yang diterima dari Presiden saat menjabat bupati. "Ini untuk membuktikan bahwa tujuan kami menjadi bupati adalah melayani masyarakat," kata dia.
Amran Batalipu didakwa menerima suap Rp 3 miliar dari pengusaha Siti Hartati Tjakra Murdaya. Duit itu diberikan terkait dengan pengurusan sertifikat hak guna usaha lahan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantation, perusahaan milik Hartati yang beroperasi di Kabupaten Buol.
NUR ALFIYAH