TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Yudisial tengah mengkaji putusan bebas dalam peninjauan kembali kasus Jonny Abbas, terpidana penipuan penggelapan 30 kontainer BlackBerry. Lembaga pengawas hakim ini tengah mengumpulkan berkas-berkas untuk bahan kajian.
"Ini masih pendalaman, belum sampai kesimpulan," kata Imam Ansori, Wakil Ketua Komisi Yudisial, saat dihubungi melalui telepon selulernya, Senin, 7 Januari 2012.
Imam mengatakan, satu dari bahan kajian akan dicari dari data pelapor kasus tersebut. Setelah rampung, komisi akan memeriksa berkas-berkas sebelum memeriksa saksi. "Kelengkapan laporan dulu, baru pemeriksaan saksi," kata dia.
Jonny Abbas merupakan direktur PT Prolink Logistics Indonesia, perusahaan jasa pengiriman barang antarnegara. Kasusnya bermula pada Februari 2009, ketika 30 kontainer berisi BlackBerry dan minuman keras milik perusahaan itu ditahan Bea dan Cukai Tanjung Priok karena tak punya izin impor.
Jonny menggugat penangkapan kontainernya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Berdalih kontainer salah alamat, harusnya ke Singapura, Jonny menang. Hasilnya, Bea-Cukai menerbitkan surat re-ekspor. Hingga kontainer milik Jonny tiba di Singapura, tak ada upaya perlawanan dari Bea-Cukai.
Berdasarkan aduan perusahaan pemilik kontainer, Antariksa Logistik, Jonny bersama bosnya, Nurdian Cuaca alias Pardin, dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dengan tuduhan penipuan dan peggelapan. Pengaduan tersebut berbuntut putusan menghukum Jonny 1 tahun 10 bulan penjara. Nurdian kabur dan menjadi buron.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan Jonny. Tapi di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutus Jonny bersalah. Dia mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Pada 18 Oktober 2012, Majelis PK yang dipimpin Hakim Agung Djoko Sarwoko dan beranggotakan Hakim Agung Achmad Yamanie serta Hakim Agung Andi Abu Ayyub Saleh, membebaskan Jonny. Namun, belakangan putusan itu diduga disusupi mafia hukum."Ada uang jutaan dolar Amerika untuk memenangi perkara ini," kata Agus Asep Sunarya, seorang yang membeberkan kasus ini.
Imam mengatakan Komisi Yudisial memang menerima laporan kasus ini pada pertengahan Desember tahun lalu. Namun, karena banyaknya kegiatan di akhir tahun, lembaganya belum bisa merampungkannya. "Apalagi terpotong dengan masa libur tahun baru dan hari Natal," ujarnya, sembari berjanji akan terus mengusut kasus ini. Meski demikian, Imam menolak membeberkan dugaan sementara dalam kajian putusan PK tersebut. "Sejauh ini belum disimpulkan."
TRI SUHARMAN