TEMPO.CO, Jakarta - Ketika Amran Nur pada 2003 menjadi Walikota Sawahlunto, 90 kilometer dari Padang, kota ini sudah hampir jadi kota hantu lantaran banyak ditinggalkan oleh penduduknya.
Setelah pertambangan di daerah ini ditutup dan mata pencaharian makin langka, Sawahlunto pun mulai ditinggalkan penduduknya.
Menurut Aprizal, pegawai negeri di Sawahlunto, dari sekitar 55 ribu penduduk pada 1995 merosot menjadi 50 ribu saja pada 2000. “Sawahlunto hampir jadi kota hantu,” kata Aprizal.
Daya beli masyarakat juga merosot menyusul tutupnya jongko-jongko di pasar. Para pedagang pindah ke kota di Sumatera Barat yang ekonominya masih bergeliat. Menjelang pergantian milenium, pertumbuhan ekonomi Sawahlunto minus 6,27 persen.
Terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, sekitar 90 kilometer dari Padang, wilayah Kota Sawahlunto terdiri dari 10 kelurahan dan 27 desa. Kota biasanya hanya terdiri dari kelurahan serta identik dengan sektor jasa dan perdagangan. Desa jamaknya ada di kabupaten dan kuat di sektor agrobisnis, peternakan, atau pertambangan. Nah, Sawahlunto meski secara administrasi berstatus kota, tapi lebih berkarakter kabupaten.
Latar belakangnya sebagai pengusaha Jakarta membuat Amran, 67 tahun, tahu apa yang harus dilakukannya. Ia pun membujuk warga yang masih tersisa untuk tetap tinggal.
“Sabarlah, masih ada harapan,” ujarnya tiap kali bertemu warga. Dan, ia memang berhasil membujuk warga yang masih tinggal dan berhasil mengubah wajah Sawahlunto tidak lagi menjadi kota mati.
Amran adalah salah satu dari tujuh bupati/walikota yang dipilih majalah Tempo dalam Liputan Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012. Baca selengkapnya di majalah Tempo Edisi Minggu, 9 Desember 2012: Bukan Bupati Biasa
ANTON SEPTIAN | FEBRIANTI (PADANG)
Berita Lainnya:
Bupati Kubu Raya Coret Dana Rumah Dinas
Bupati Ini Kerahkan Preman Jaga Kerukunan Beragama
Luapan Sungai Barito Ancam Empat Kabupaten
Bupati Kubu Raya Pilih di Rumah daripada ke Kantor