Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta: Bekas Wakil Perdana Menteri I / Menteri Luar Negeri era Orde Lama, Soebandrio meninggal dunia, Sabtu (3/7) dinihari. Setelah disemayamkan di rumahnya di Jalan Jian Cipete Jakarta Selatan, jenazah Soebandrio dikuburkan di pemakaman Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Sabtu (3/7) sore.Seobandrio meninggal pada usia 90 tahun setelah selama enam bulan terbaring di rumahnya karena stroke. "Dia tidak mau dibawa ke rumah sakit," kata istrinya, Sri Kusdyantinah, 73 tahun. Menurutnya, suaminya sudah mengalami stroke tiga kali sejak keluar dari penjara Cipinang pada 15 Agustus 1995. Serangan yang ketiga --mengakibatkan dia terjatuh terjerat sarung usai salat-- memaksa Soebandrio hanya terbaring saja.Tanda-tanda ajal mendekat bukan tak dirasakan orang dekat Presiden Soekarno ini. Sebulan lalu, kata Sri, dalam keadaan tubuh yang lemah, Soebandrio sempat mengatakan ia tak kuat lagi melanjutkan hidup. "Tapi saya belum tega meninggalkan kamu," begitu katanya, seperti dikutip Sri.Di mata Sri, suami yang menikahinya pada usia 64 tahun itu seorang teguh iman dan selalu menyerahkan segala persoalan pada Tuhan. "Ia orang yang menerima," katanya, "Sehelai daun jatuh pun itu kehendak Tuhan." Sepajang pengetahuannya, Soebandrio tak pernah mengeluh dijebloskan ke penjara Cipinang dengan vonis hukuman mati oleh pemerintahan Orde Baru. "Tuhan ada maunya," katanya soal hukuman itu.Selama 30 tahun dalam penjara, kata Sri, Soebandrio menghasilkan berlembar-lembar catatan harian yang ditulis dalam Bahasa Inggris dan Belanda. Catatan-catatan yang berisi tentang renungannya pada agama dan Tuhan itu kini masih tersimpan di rumahnya. Tapi, Soebandrio berniat menerbitkannya sebagai buku. Soebandrio sempat berniat membuat sebuah biografi yang ingin ditulisnya sendiri sekeluarnya dari Cipinang. "Tapi ia sudah tak kuat. Menyuruh orang lain menuliskannya pun ia tak mau," katanya.Dalam sakitnya itu, sembari terbaring itu, kata Sri, Soebandrio masih tekun menyimak berita di koran dan televisi. Politisi-diplomat yang menguasai bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Prancis dan Rusia itu membaca berita-berita itu dengan seksama tanpa bantuan kacamata. Kadang ia juga mendiskusikan perkembangan berita itu dengan keluarga."Dia orang yang tabah," ini kesan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono yang datang melawat. Menurut Hendro, ketabahan Soebandrio itu tercermin pada penerimannya mendekam di Cipinang. Selagi menjabat Panglima Kodam Jaya pada 1993/1994, Hendro kerap menyambangi tahanan politik, termasuk Seobandrio, di Cipinang. Tapi, Hendro mengaku, hubungan antara dirinya dengan Soebandrio hanya sebatas organisasi saja.Soebandrio memang orang pertama yang memimpin Badan Pusat Intelijen, cikal bakal Badan Intelijen Negara seperti sekarang. Badan intelijen merupakan satu lembaga yang pernah disinggahi Soebandrio di samping puluhan jabatan lain semasa Orde Lama.Seobandrio dikenal sebagai orang bisa menerjemahkan gagasan Seokarno dalam politik di dalam dan luar negeri. Laki-laki yang lahir di Kepanjen, Malang, tahun 1914 ini masuk dalam lingkaran politik selepas menamatkan studinya di Sekolah Kedokteran Tinggi Jakarta pada 1942 dengan masuk Partai Sosialis pimpinan Sutan Sjahrir. Selama Oktober 1946-Juli 1947 ia ditunjuk sebagai Sekjen Kementerian Penerangan Kabinet Sjahrir. Setelah itu ia ditugaskan Wakil Indonesia di Inggris pada 1947-1949. Lalu, pada 1950-1954 ia memangku jabatan sebagai Duta Besar Indonesia di Inggris sebelum menjadi Dubes RI di Uni Sovyet hingga 1956. Ia ditarik kembali ke Jakarta dan mendapat jabatan baru sebagai Sekjen Kementrian Luar Negeri.Akibat PSI kalah dalam Pemilu 1955, Soebandrio berubah haluan politik dan bergabung ke PNI. Karirnya makin berkibar setelah Soekarno menunjuknya sebagai Menteri Luar Negeri pada 1957. Sejak saat itu, Soebandriolah orang yang menyampaikan gagasan politik Seokarno ke dunia luar. Ia pernah berkata, seorang diplomat harus juga mengemban instrumen revolusi, sebuah cita-cita besar Bung Karno. Ia pula yang kemudian merumuskan poros "Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang" sebagai kebijakan politik luar negeri Indonesia pada 1960-an yang penuh ketegangan.Pada 1965, G30S/PKI meletus. Soebandrio juga masuk daftar hitam Orde Baru hingga ia dipenjarakan di Cipinang bersama Panglima AURI Marsekal Oemar Dhani dan Kepala Staf BPI Brigjen Soegeng Soetarto. Pengadilan memutusnya bersalah karena dianggap orang yang membiarkan tergulingnya pemerintah yang sah, bukan sebagai tokoh PKI. Permohonan grasi pertamanya ditolak meski dikurangi hukumannya menjadi seumur hidup. Pada 1995, Presiden Seoharto menerima grasi kedua Seobandrio dkk dan sejak itu dibebaskan."Kebersamaan Bapak dalam keluarga hanya efektif sembilan tahun," kata Sri, yang pertama kali menerjemahkan karya-karya penyair Khalil Gibran dan futuris Alvin Toffler dalam bahasa Indonesia dan masih mengajar di Universitas Nasional. Seobandrio wafat meninggalkan satu anak, Budoyo Soebandrio (meninggal pada usia 37) dari istri pertamanya, dr Hurustiati Soebandrio yang juga meninggal, dan dua cucu. Soebandrio-Sri menikah pada 1978 setelah tiga tahun suami Sri, yang masih famili dengan Seobandrio, meninggal. Bagja Hidayat - Tempo News Room