TEMPO.CO, Jakarta -- Setiap tahun, 25 November diperingati sebagai Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Pencatatan hari internasional ini dimulai sejak 1981. Tujuannya guna mengingat kematian tiga bersaudara: Patria, Minerva, dan Maria Teresa Mirabal; yang dibunuh kaki tangan Presiden Rafael Trujillo di Republik Dominika. (Baca: Hari Anti-Kekerasan Perempuan Berawal dari Dominika).
Meski sudah dicanangkan 31 tahun lalu, nyatanya kini masih banyak kekerasan terhadap perempuan. Termasuk di Indonesia. Contohnya saja yang terjadi pada Novita Patricia Wund, pejabat komunikasi International Finance Corporation (IFC), anak perusahaan Bank Dunia, untuk wilayah Indonesia dan Singapura.
Perempuan 40 tahun itu pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya menikahi wanita lain pada saat Novita hamil tujuh bulan. Kala itu, Novita masih berpikir untuk mempertahankan pernikahan yang dijalani sejak Februari 1999.
Akhirnya, sang suami meminta maaf dan menceraikan istri keduanya. Namun kelakuan selingkuh tak sembuh dari suami Novita. "Jumlah selingkuhannya melebihi warna-warni pensil warna," kata Novita di Koran Tempo, Ahad, 25 November 2012.
Tak hanya itu. Suami Novita juga kerap main pukul dan menghinanya. Selama sekitar tujuh tahun, Novita menyembunyikan perlakuan kasar itu dari orang lain. Pipi lebam atau bibir yang berdarah selalu ia akui sebagai terjatuh atau terbentur tak sengaja saat bermain dengan anak kembarnya, Marco dan Mario.
Puncaknya, saat si suami berusaha melemparkan Novita dari mobil yang tengah melaju dalam kecepatan tinggi di jalan tol, dan kejadian itu berlangsung di depan mata kedua anaknya. "Tulang rusuk saya bergeser. Dan hasil rontgen menjadi senjata untuk bercerai," kata dia.
Pada Mei 2007, Novita mengajukan tuntutan cerai. Namun, satu bulan setelahnya, Marco dan Mario menghilang. Awalnya, kedua anak itu diajak makan sang ayah di Pondok Indah, tapi mereka tidak kembali.
Berusaha mendapatkan anak-anaknya lagi, Novita malah diperas puluhan juta rupiah oleh seorang penegak hukum. Alasannya, agar kasus hukum Novita bisa segara diproses. "Saya akhirnya berhasil melacak keberadaan anak-anak setelah menyewa detektif swasta," kata dia.
Pada saat bersamaan, surat keputusan pengadilan keluar dan menyatakan hak asuh anak di tangan Novita. Namun si mantan suami berkeras mengasuh satu anak mereka. Ia baru menyerah setelah diancam bahwa anak-anak akan dirawat oleh negara. "Kini anak saya sudah remaja," kata Novita. "Mereka boleh bertemu ayahnya asal tidak diajak bepergian."
KORAN TEMPO | CORNILA DESYANA
Berita lain:
Apa Akar Kekerasan terhadap Perempuan?
Kasus Kekerasan Perempuan Indonesia Capai 119 Ribu
Narapidana Korupsi Tewas di Lapas Kupang
Hari Anti-Kekerasan Perempuan Berawal di Dominika