TEMPO.CO, Jakarta - Selama memimpin perang gerilya, bukan sekali-dua kali Jenderal Soedirman jatuh sakit. Bahkan ia sempat beberapa kali menginap di rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, dan menjalani operasi paru-paru di sana.
Menurut Majalah TEMPO edisi 12-18 November 2012, pada 10 Juli 1949, Soedirman kembali menginap di Panti Rapih, setelah delapan bulan keluar-masuk hutan di luar Yogya. Meski sudah terbaring di ruang perawatan, Soedirman tetap sibuk berjuang. Ia pun masih memimpin rapat kabinet bersama Presiden Sukarno. Keduanya membahas upaya mempertahankan kemerdekaan.
Habis dua pekan di Panti Rapih, Soedirman pulang ke rumah. Namun kesehatannya kian mencemaskan usai Belanda bersedia melakukan gencatan senjata, Oktober 1949. Dokter pun meminta dia kembali ke Panti Rapih. Tapi Soedirman memilih beristirahat di wisma tentara, Badakan, Magelang.
Di sana, Soedirman bisa menghirup hawa sejuk. Pemandangan Gunung Sumbing juga terbentang di depan mata. Namun semua itu tak membuat kesehatan Soedirman membaik. Tiga bulan di sana, ia kerap muntah darah. Juga di tempat tidur.
Dokter Husein, dari Rumah Sakit Magelang, akhirnya rajin menjenguk Soedirman. Bolak-balik ia memeriksa dan menunggui jenderal itu. “Kondisi Bapak waktu itu tinggal tulang dan kulit saja,” kata Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman.
Pada 18 Januari 1950, Soedirman meminta sejumlah petinggi tentara menemuinya di Badakan. Seolah-olah ia mendapat firasat bila hari kematiannya segera tiba. Esok harinya, ia memanggil istri dan tujuh anaknya. Kepada mereka, Soedirman memberikan wejangan.
Dia juga sempat bergurau. Kepada keluarga, misalnya, ia menyatakan ingin seperti Lurah Pakis, kenalannya, yang hidup sampai tua dan bisa menimang cucu.
Sebelas hari kemudian, tepatnya Senin, 29 Januari 1950, Soedirman kembali dikelilingi keluarganya. Kondisi tubuh kurus Soedirman makin lemah. Melihat itu, berlinang air mata Siti Alfiah. Ia meminta suaminya agar tegar.
Soedirman menatap Alfiah, kemudian ia meminta istrinya menuntun, membaca kalimat tauhid. “Satu kalimat terucap, Bapak kemudian mangkat,” kata Teguh.
Soedirman pergi dalam usia muda, 34 tahun. Esok harinya, ribuan orang ikut mengantarkan jenazahnya ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Hari itu hujan turun lebat mengguyur Kota Yogya. Tembakan salvo satu regu tentara di pemakaman Semaki mengantar Jenderal Besar ke tempat peristirahatan terakhirnya.
TIM TEMPO
Berita lain:
Bagaimana Soedirman Jadi Panglima?
Soedirman Ternyata Hanya Bernapas dengan Satu Paru
Usia 26, Soedirman Tumpas Pemberontakan Pertama
Soedirman Jual Perhiasan Istri Demi Ransum Tentara
Teh Tiyung, Minuman Kesukaan Soedirman