TEMPO.CO, Banda Aceh - Provinsi Aceh bakal mempunyai Wali Nanggroe yang merupakan lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat Aceh. Lembaga itu lahir sebagai bagian dari kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, 15 Agustus 2005 lalu di Helsinki, Finlandia. Ketentuan ini kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
"Qanun (perda) sudah disahkan tingkat DPRA, tinggal menunggu tanda tangan Gubernur Aceh. Secara prinsip gubernur telah setuju," kata Abdullah Saleh, Sekretaris Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), kepada Tempo, Selasa, 6 November 2012.
Pengesahan dewan terhadap Qanun Wali Nanggroe dilakukan pada Jumat pekan lalu dalam rapat paripurna DPRA. Setelah disahkan, qanun itu akan diedit dan revisi pada beberapa bagian, sebelum dibawa untuk ditandatangani gubernur Aceh dalam beberapa hari ke depan. "Editing penulisan, jangan salah titik koma dan revisi yang tidak terlalu mendasar," ujar Abdullah Saleh.
Lembaga Wali Nangroe mempunyai prinsip sebagai pemersatu masyarakat Aceh yang independen dan berwibawa serta bermartabat, pembina keagungan dinul Islam, kemakmuran rakyat, keadilan, dan perdamaian. Juga pembina kehormatan dan kewibawaan politik, adat, tradisi sejarah, dan tamadun Aceh.
Menurut Abdullah Saleh, orang yang akan didapuk menjadi Wali Nanggroe nantinya adalah Tgk Malek Mahmud, yang merupakan mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam qanun disebutkan Malek Mahmud ditetapkan sebagai Wali Nanggroe ke-9, setelah Wali Nanggroe sebelumnya, Tengku Hasan Muhammad di Tiro, meninggal dunia.
Tgk Malek Mahmud nantinya akan dinobatkan sebagai Wali Nanggroe Aceh melalui upacara adat. "Belum ada jadwal kapan penobatannya, masih dalam proses," ucap Abdullah Saleh.
ADI WARSIDI
Berita lain:
Jika Enam Ruas Tol Jadi Dibangun, Jokowi Digugat
Peminta Upeti BUMN Terkait Penyertaan Modal
Gara-gara Sandy, Orang Terkaya Rugi Rp 40 Triliun
Kekayaan Pemilik Bank Century Disita Polisi