TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, mengungkapkan rasa pesimisnya terhadap pengerjaan revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban di Dewan Perwakilan Rakyat RI.
"Mendorong revisi undang-undang ini berat. Pasalnya, undang-undang ini berbeda dengan undang-undang seperti minyak bumi dan gas. Undang-undang ini tidak ada duitnya," katanya dalam seminar Metamorfosis LPSK Melalui Revisi UU Nomor 13 Tahun 2006, di Jakarta, Rabu, 17 Oktober 2012.
Meskipun pesimis, Emerson mendukung revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban. ICW mencatat ada lebih dari 45 kasus di mana pelapor malah dikriminalisasi, diancam, termasuk digugat secara perdata. Menurut dia, undang-undang ini tidak mengakomodir perlindungan bagi saksi, korban, dan pelapor.
Meskipun ada peraturan bersama Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, Kejaksaan Agung, dan LPSK untuk melindungi saksi dan korban, tapi bagi Emerson hal itu belum cukup.
"Bahkan, masih banyak definisi yang harus diperluas lagi soal siapa saja yang harus dilindungi. Saya mengusulkan penegak hukum harus bisa dilindungi. Misalnya seperti penyidik KPK Novel Baswedan harus mendapat perlindungan dari LPSK," ujar Emerson.
LPSK berupaya menuntut adanya revisi UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasalnya, dalam UU tersebut belum adanya aturan perlindungan terhadap pelapor (whistle blower), pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), hingga perlindungan terhadap anak di bawah umur. Bahkan, untuk mendampingi saksi dan korban di pengadilan pun belum ada aturannya.
MUHAMAD RIZKI
Terpopuler:
Penyidikan Rekening Gendut Terhenti Faktor Rahasia
Yuri Siahaan, Penyidik KPK Target Kedua Polri
PPATK: Laporan Kasus Simulator Pernah Diabaikan
DPR: Dipo Alam Offside
Polisi Belum Serahkan Berkas Simulator SIM ke KPK