TEMPO.CO, Denpasar - Ini kisah sisi lain peringatan Satu Dekade Bom Bali I, Jumat, 12 Oktober 2012, tentang seorang korban terluka bom JW Marriot yang mencoba memaafkan musibah yang menimpanya dengan menemui sejumlah pelaku Bom Bali I.
Memaafkan adalah kuncinya. Bila masih banyak keluarga korban maupun korban itu sendiri terlampau sulit untuk memberi maaf pada pelaku teroris, berbeda dengan Tony Soemarno. Dia begitu mudahnya mengampuni pihak-pihak yang telah membuatnya cacat seumur hidup.
"Kalau masih dendam, luka itu akan terasa dua kali lebih besar. Luka secara fisik dan hati," tuturnya kepada Tempo, Jumat, 12 Oktober 2012. Namun, sekarang perasaannya sudah plong, tidak ada beban. Sama sekali tidak ada dendam dalam hatinya.
Metode yang terbilang tidak umum ini cukup ampuh. Meski tidak bisa menghilangkan seluruhnya, keadaan Tony saat ini sudah jauh lebih baik ketimbang ketika beberapa saat dia terkena ledakan yang terjadi pada 5 Agustus 2003 itu.
Ternyata, cara penyembuhan ini sudah dilakukannya sejak 2004 lalu. Saat itu, hanya beberapa bulan setelah dia keluar dari rumah sakit dan kembali bekerja. Perusahaannya berada di gedung Menara Rajawali, tepat di sebelah Hotel JW Marriot.
"Saat itu saya di lantai 20. Saat melihat ke luar dari jendela, saya tiba-tiba melihat ke bawah," ujarnya. Tepat saat itu, polisi sedang melakukan rekonstruksi peledakan.
Entah mengapa, Tony langsung turun. Dalang pengeboman, Masrizal alias Tohir ada di situ.
Tanpa komando, Tony kontan mengajaknya berbicara. Kaget juga dengan aksi Tony, polisi yang berjaga saat itu menahannya. "Kata polisi, saya lebih baik ke kantor saja kalau mau mengobrol-ngobrol. Saya juga heran, mengapa polisi bisa mengajak begitu," ucapnya.
Saat itu juga, Tony yang kelahiran Malang, Jawa Timur ini berangkat ke Mabes Polri. Rencananya hanya bertemu 10 menit, namun pada kenyataannya Tony bercakap-cakap hingga 2 jam.
"Sampai saya sempat salat bareng dengan dia (Tohir)," kata Tony, sambil kembali mengisap cerutunya di restoran salah satu hotel di bilangan Kuta, Bali.
Namun, sebelum salat itu, Tony mampu memasukkan doktrinnya kepada Tohir. Menurut pengakuan Tony, Tohir seketika sadar dan meminta maaf atas perbuatannya.
Tony cukup percaya dengan Tohir saat itu. "Kepuasannya luar biasa, kalau bisa membuat orang sedikit kembali ke jalan yang semestinya," ucapnya dengan tatapan menerawang.
Sayang, bukan itu kebanggaan terbesarnya, melainkan pada Ali Imron. Terpidana hukuman mati kasus Bom Bali I ini sangat sulit didekati. Dia begitu dingin saat diajak bicara.
"Awalnya hanya satu arah. Hanya saya saja yang tanya. Saya tanyakan keluarga, hobinya apa, dan lain-lain. Pokoknya asal nyambung saja," ia menambahkan. Komunikasi satu arah ini berlangsung hingga beberapa pertemuan setelahnya.
Baru pada sekitar pertemuan ketujuh, benteng pertahanan Ali mulai runtuh. Dia mulai meminta Tony untuk membawakannya makanan ringan sejenis keripik.
Tony yang hingga kini menjadi pengurus Yayasan Asosiasi Korban Bom Indonesia (ASKOBI) ini menjalin hubungan yang cukup dekat dengan Ali. Paling tidak, Tony berkunjung satu kali dalam dua bulan untuk menemui pelaku pengeboman.
Selain Tohir, Tony juga kerap menemui kawan-kawan Toni dalam aksi yang sama. Total, dia sudah bertemu tujuh orang yang berbeda.
Kini, Tony berada di Bali khusus untuk turut memeringati 10 tahun Bom Bali I. "Saya pengennya juga mengunjungi pelaku bom di LP Kerobokan. Mudah-mudahan bisa," ia berharap.
Ini karena, untuk bertemu dengan pelaku itu, ia harus membuat pendekatan dulu dengan aparat setempat.
Tentu sudah banyak kebanggaan yang dikantongi Tony. Sayang lagi sayang, dia masih punya satu angan-angan. "Saya masih pengen ketemu Umar Patek. Pengennya tahun ini," katanya optimistis.
Cara-cara pendekatan persuasif ini memberinya banyak keuntungan dan kepuasan batin. Dia merasa nyaris pulih total.
Namun, ada tiga hal yang masih ditakutinya hingga detik ini. "Pertama, saya masih enggak berani parkir di basement atau tempat gelap. Lebih baik parkir agak jauh daripada harus ke basement. Saya masih ngeri saja," katanya.
Kemudian, hal lain yang membuat jantungnya berdetak sangat kencang adalah suara bantingan pintu.
Terakhir, dia kerap merasa kecewa jika ada orang-orang yang masih memandangnya sebelah mata. "Misalnya, kalau ada orang yang masuk dalam lift, lalu matanya sepintas menoleh tangan saya, ia lalu bergerak menjauh," ujarnya, sambil memeragakan.
Ayah tiga anak ini merasa tidak nyaman dengan perlakuan tersebut. "Biasanya orang Indonesia yang lebih sering memandang jijik seperti itu. Kalau bule, mereka biasanya langsung tanya kenapa tangan saya. Itu lebih saya hargai," ujar dia.
Sepintas, bentuk tangan kanan dan kiri Tony memang sedikit berbeda. Sekat antarjarinya tidak lagi sempurna. Sel-sel koloidnya melebur sehingga membuat gerak jarinya makin sulit.
Meski sudah 99 persen sembuh, ingatannya masih segar. Kala itu, Tony bersama tujuh orang lainnya sedang berada di Coffee Station Syailendra. Dua orang di antaranya merupakan klien Tony. Jarum jam saat itu mengunjukkan pukul 12.55 WIB.
Saat ledakan, Tony melihat langsung api menyambar ke arah wajahnya. Ia bergerak cepat menutupi wajah dengan kedua tangannya. Wajahnya terselamatkan. Sayang, ia harus mengorbankan kedua tangan dan kepala atasnya.
Luka bakar masih terlihat jelas di bagian itu.
KETUT EFRATA
Saat Diperiksa, Model Penabrak 7 Orang Malah Joget
Alamat Model yang Tabrak Tujuh Korban Ternyata Palsu
Tabrak 7 Orang, Model Berbikini Dengar Bisikan Gaib
Astronom Temukan Planet Berlapis Berlian
Anak Qadhafi Ingin Digantung di Libya