TEMPO.CO, Purwokerto - Kasmiyah, 50 tahun, tampak kesal. Sudah sepekan ini, atap rumahnya jebol tiga kali. Bukan angin atau gempa bumi yang menyebabkannya, tapi monyet ekor panjang yang menjadi biang keladinya.
Selama musim kemarau ini, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, menyerbu rumah penduduk untuk mendapatkan makanan. "Jumlahnya ribuan, bahkan saat ini tidak hanya ada di desa ini, tapi sudah sampai ke desa tetangga," kata Kasmiyah, Ahad, 16 September 2012.
Monyet-monyet itu tak hanya menjebol atap rumah yang rata-rata terbuat dari genting. Setelah berhasil membuka atap rumah, mereka turun dan mengambil semua makanan yang ada di rumah. Tak terkecuali bumbu dapur yang turut menjadi sasaran aksi mereka.
Rumah-rumah penduduk penganut Islam Alif Rebo Wage atau Aboge itu memang kebanyakan terbuat dari kayu bukan tembok. Pintu rumah pun terbuat dari kayu dengan kunci pintu yang masih sederhana. Hanya menggunakan kait kayu.
Jika tak dijaga, seringkali monyet-monyet itu bisa masuk ke rumah melalui pintu. "Mereka cukup pintar, bisa membuka kait kayu dan masuk ke rumah," katanya.
Turahman, 60 tahun, mengatakan monyet tak hanya mengambil makanan di rumah tapi juga merusak tanaman warga. "Mereka sering merusak tanaman dan mengambil nira kelapa," katanya.
Di musim kemarau ini kera semakin liar karena ketersediaan makanan di kawasan hutan Perhutani sudah jarang. "Warga di sini sudah kenyang dengan ulah kera liar. Kera-kera itu sering mengambil makanan, buah-buah, dan nira kelapa. Apalagi di musim kering sekarang ini, pucuk daun muda yang biasanya jadi makanan kera sudah jarang tumbuh dan ditemui," ujarnya.
Akibat ulah kawanan kera yang kelaparan itu, tak sedikit warga yang mempunyai pekerjaan sebagai penderes nira kelapa dirugikan. Nira kelapa yang harusnya dapat diolah menjadi gula kelapa, malah sering habis karena diminum oleh kera.
Warga lainnya, Sulam, 41 tahun, mengatakan selama beberapa tahun terakhir warga sudah terbiasa dengan ulah kawanan kera liar tersebut. "Warga sudah terbiasa tiap hari menghadapi ulah kera. Warga harus pandai-pandai ketika harus menanam atau menaruh makanan. Karena kera-kera ini sudah mulai masuk ke pemukiman," ujar pria yang juga menjadi juru kunci Masjid Saka Tunggal.
Kepala Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Suyitno mengatakan karena bantuan pakan kera dari pemkab terbilang tak dapat diandalkan, maka mau tidak mau warga setempat harus berkorban makanan untuk para kera.
Padahal, sebagai objek wisata di Banyumas, kompleks Masjid Saka Tunggal dan Taman Kera Cikakak memerlukan banyak dukungan infrastruktur. "Yang jelas kalau soal makanan untuk monyet, warga sudah berkorban banyak. Sayangnya, hingga kini janji perbaikan jalan wisata saja belum terealisasi apalagi untuk penambahan aset wisata. Entah kapan. Padahal, kalau begini warga yang harus terkena dampaknya," Suyitno menerangkan.
Sementara ini upaya warga untuk mengatasi ulah kera hanya dengan cara mengusir kera-kera tersebut ketika telah memasuki pemukiman. Warga juga telah memasang peringatan kepada para wisatawan, yang datang ke Taman Kera Cikakak, untuk tidak memberikan makanan kepada kera di sekitar areal Masjid Saka Tunggal yang dekat dengan pemukiman warga.
Bambang Suhari, juru kunci utama komplek Masjid Saka Tunggal, di mana banyak kera bermain, mengatakan tak jelas betul kapan mulanya ada kera di daerah itu. "Dulu tahun 1972 hanya ada tujuh ekor, tapi kini sudah mencapai ribuan," katanya.
Ia mengatakan monyet di sekitar masjid memang dikeramatkan. Penduduk setempat tak boleh menganiaya atau membunuh monyet-monyet tersebut. Bandingkan dengan pembunuhan keji orang utan di Kalimantan sana.
Masjid Saka Tunggal sendiri merupakan bangunan cagar budaya yang dilindungi. Konon, masjid itu dibangun tahun 1522 oleh Kyai Ageng Tolih. Sebagian percaya, masjid ini merupakan masjid tertua di Jawa.
Sebuah mesjid yang sangat unik. Di dalam mesjid hanya ada satu tiang penyangga (saka tunggal). Atapnya pun tidak terbuat dari genting biasa, tapi dari ijuk pohon aren.
Tak jauh dari mesjid tersebut, ada sebuah kompleks pemakaman. Pemakaman tersebut tersusun atas tiga bagian. Masing-masing dijaga oleh satu orang juru kunci.
Kunci gunung, atau makam paling atas, dijaga oleh Bambang Suhari. Sedangkan kunci tengah dan lebak masing-masing dipegang oleh Diman dan Sopani. "Penanggung jawab utamanya ya saya," kata Bambang.
Di makam itulah, Ki Ageng Tolih dikebumikan. Juga ada beberapa makam kerabatnya dan makam para juru kunci terdahulu.
Ki Ageng Tolih hidup dalam masa Kesultanan Mataram kuno. Karena masih awal, Islam-nya pun masih bercorak Kejawen. "Dulunya Banyumas itu masih tlatah Surakarta," ujar Sudjarwo Purno Hadinegoro, sesepuh di daerah tersebut.
ARIS ANDRIANTO
Berita lain:
Dilema YouTube Atas Film Anti-Islam
Foto Topless Kate Beredar, Pengawal Dinilai Lalai
Jokowi: Foke Bisa Menang 91 Persen Jika...
William Gugat Media Pemuat Foto Telanjang Istrinya
Begini Kata Jokowi Tentang Betawi