TEMPO.CO, Madiun - Indonesia belum memiliki aturan hukum dan teknis penanganan imigran ilegal yang transit di Indonesia. Tak adanya aturan itu membuat wadah koordinasi antar-instansi terkait saat menangani imigran gelap menjadi tidak jelas. "Sampai sekarang belum diatur," ujar Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Madiun Hermansyah Siregar, Senin, 10 September 2012.
Pernyataan Hermansyah ini didasari atas pengalaman sejumlah kasus penyelundupan imigran gelap di sejumlah daerah transit di Indonesia. "Masalah imigran bukan hanya tanggung jawab pihak imigrasi, tapi sudah jadi masalah negara dan butuh koordinasi antar-instansi," ujarnya.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian belum mengatur penanganan imigran gelap yang jadi korban sindikat penyelundupan manusia. "Mereka ini korban dari sindikat penyelundupan antarnegara," kata Hermansyah.
Undang-Undang Keimigrasian hanya mengatur sanksi pidana bagi pelaku penyelundupan manusia. Sedangkan untuk imigran yang jadi korban tidak diatur.
Menurut dia, pemerintah perlu membuat regulasi sebab jumlah imigran, terutama dari Timur Tengah yang menuju negara tujuan seperti Australia, terus bertambah. Australia jadi tujuan karena berdasarkan Ratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1951, Australia menyatakan sebagai negara penampung imigran. "Di Australia, mereka dapat dipekerjakan dan menjadi warga negara sana, namun melalui proses yang ketat," kata Hermansyah.
Ada dua jenis pelanggaran imigrasi, antara lain pelanggaran imigrasi murni dan penyelundupan manusia dengan korban imigran atau pengungsi ilegal. Sanksi pidana pelanggaran imigrasi murni terkait keabsahan dan penggunaan dokumen keimigrasian sudah diatur dalam undang-undang. Sanksi bagi pelanggarnya akan dideportasi. "Tapi kalau yang imigran gelap tidak bisa dideportasi selama negara asal mereka belum kondusif," ujarnya.
Solusinya bergantung pada kebijakan lembaga internasional yang menangani imigran atau pengungsi. Setidaknya ada dua lembaga internasional yang kompeten, antara lain badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan International Organization for Migration (IOM).
IOM merupakan lembaga konsorsium beranggotakan ratusan negara yang memiliki misi kemanusiaan pada migran atau pengungsi antarnegara. "UNHCR yang menentukan status imigran, sedangkan IOM bertugas memberikan jaminan keselamatan selama bermigrasi," kata Hermansyah. UNHCR berwenang memberikan penilaian pada imigran yang layak mendapat suaka dari negara pemberi suaka.
Kantor Imigrasi Kelas II Madiun kini menangani 60 imigran gelap asal Timur Tengah yang ditangkap di Pacitan, 7 September 2012. Dari 60 orang itu, enam di antaranya kabur dari hotel tempat menginap di Madiun dan tersisa 54 orang. Dari 54 orang, 11 orang di antaranya hari ini dipindah ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jawa Timur yang berada di Bangil, Pasuruan.
Sementara 43 imigran masih ditampung di sebuah hotel di Kota Madiun. "Untuk yang lainnya masih menunggu mana Rudenim di provinsi lain yang kosong," ucapnya. Biaya penginapan, konsumsi, dan akomodasi para imigran ini ditanggung IOM perwakilan Indonesia yang berada di Surabaya.
ISHOMUDDIN
Berita lain:
Ditemukan Gambar Yesus di Buku Panduan Haji
Alasan Munir Pilih Garuda Indonesia
Munir dan Mobil Toyota Mark Putih Kesayangannya
God Bless Manggung untuk Jokowi
Golkar Diminta Tidak Tersandera Bisnis Bakrie
Artis Gaek Dukung Jokowi
Aburizal Bakri Diminta Hati-hati