TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan kejahatan yang yang terjadi dalam kasus lumpur Lapindo, Sidoarjo, masuk dalam kategori pemusnahan lingkungan atau ekosida. Komisi menilai kejahatan ini termasuk dalam kejahatan berat karena berdampak sangat luas bagi kehidupan manusia. Tetapi mereka tak bisa menggunakannya sebagai argumen terjadinya pelanggaran HAM berat di Sidoarjo.
"Menurut Undang-undang tentang pengadilan HAM, hanya ada dua kategori pelanggaran HAM berat yakni kejahatan kemanusiaan dan genosida," kata Komisioner Komnas HAM Ridha Saleh dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa 14 Agustus 2012. Oleh sebab itu, kejahatan yang dilakukan PT Lapindo Brantas di Sidoarjo hanya masuk kategori pelanggaran HAM biasa. Meski begitu ada 15 poin hak asasi manusia yang dilanggar akibat semburan lumpur panas di sana.
Kesimpulan tersebut diambil Komnas HAM setelah mereka melakukan investigasi sejak 2009. Setelah melakukan rapat paripurna pada 7 dan 8 Agustus lalu, Komisi pun memutuskan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah kejahatan, bukan bencana alam. Mereka pun meminta agar polisi menyidik perkara ini berdasarkan bukti dan keterangan saksi yang diperoleh Komisi selama investigasi.
Ekosida yang terjadi di Sidoarjo bisa dilihat dari akibat semburan lumpur di sana, di antaranya dengan tenggelamnya desa-desa dan kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon dan Tanggulangin. Sedikitnya 12 desa terimbas dengan luas lebih dari 600 hektare. Akibatnya, sekitar 60 ribu penduduk sipil harus pindah. Semburan lumpur ini juga menyebabkan pipa gas di sisi timur tanggul lumpur meledak sehingga menewaskan 12 orang dan sejumlah orang dinyatakan hilang.
Udara di sekitar semburan tercemar oleh gas H2S sehingga keadaan lingkungan hidup di sekitar wilayah semburan pun memburuk dan membuat masyarakat menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Sebanyak 81 persen penduduk di sekitar wilayah yang terkena semburan menderita gangguan paru-paru. Tak hanya itu, fasilitas air bersih pun turut rusak.
Lumpur yang merendam wilayah tersebut juga turut menenggelamkan pabrik, kantor dan berbagai bangunan sehingga perekonomian di sana lumpuh. Menurut Ridha, berdasarkan skala kerusakan dan kerugian yang diderita masyarakat, kejahatan ini seharusnya bisa masuk dalam pelanggaran HAM berat. "Tetapi sistem undang-undang kita tak bisa mengakomodir," katanya.
Oleh sebab itu Komnas HAM akan memasukkan klausul tentang ekosida dalam draf amandemen undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan amandemen Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, pengawalannya akan diserahkan kepada Komnas HAM di periode mendatang. Pasalnya masa jabatan Komnas HAM sebentar lagi berakhir. "Kami mendorong supaya Komnas HAM generasi selanjutnya mengusahakan masuknya ekosida dalam kategori pelanggaran HAM berat," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim.
Di dunia pun, belum ada yurisprudensi yang memungkinkan ekosida menjadi dasar penentuan status pelanggaran HAM berat. Menurut Ridha, saat ini baru ada usaha dari sejumlah pengacara di Inggris yang ingin memasukkan ekosida dalam Statuta Roma. Saat ini baru ada empat tipe kejahatan pelanggaran HAM yang bisa diadili mahkamah pidana internasional, yakni kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi. "Kami berusaha supaya pemusnahan lingkungan atau ekosida ini diakui dulu sebagai pelanggaran HAM berat di Indonesia," kata Ridha.
Dalam proses investigasinya, Komnas HAM mengaku kesulitan meminta keterangan dari pihak perusahaan dan pemerintahan. Oleh sebab itu, proses investigasi memakan waktu hingga tiga tahun. Komnas juga kesulitan menentukan Lumpur Lapindo sebagai pelanggaran HAM berat karena dilakukan oleh korporasi. "Selama ini yurisprudensi pelanggaran HAM berat hanya dilakukan oleh negara, bukan korporasi," katanya. Oleh sebab itu kasus ini hanya mungkin dibawa ke pengadilan pidana umum.
ANGGRITA DESYANI