TEMPO.CO, Malang - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menurunkan tim untuk menyelidiki kasus konflik agraria di Harjokuncaran, Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Penyelidikan itu menyusul bentrokan fisik antara warga dengan prajurit TNI Angkatan Darat Kodam V Brawijaya pada awal Juli lalu. "Pelanggaran HAM harus diselesaikan, perlu dilakukan penyelidikan," kata Komisioner Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simalue, di Malang, Jumat, 3 Agustus 2012.
Ia bersama sejumlah Staf Komnas HAM meninjau ke lokasi. Hasil pemantauan tersebut akan disampaikan kepada komisioner Komnas HAM selanjutnya lantaran masa kerja Komnas HAM berakhir 31 Agustus mendatang. "Sebelumnya, ada enam orang hilang. Tak bisa diabaikan," kata dia.
Syafrudin mengaku telah mengumpulkan informasi mengenai kronologis sengketa agraria termasuk dokumen dari warga. Data-data itu dipelajari untuk memahami persoalan serta mencari jalan keluar bagi kedua belah pihak.
Komnas HAM menyatakan akan segera mengecek status lahan tersebut ke Badan Pertanahan Negara. "Apakah tanah berstatus milik negara atau bukan," katanya.
Dokumen dari warga menjelaskan warga memiliki sertifikat lahan, bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan serta petunjuk jika lahan tersebut sebagai obyek land reform. Selain dokumen tertulis, Syafrudin menemukan bukti di lapangan jika warga lama bermukim di kawasan tersebut. Antara lain bukti kuburan warga dan nama sungai yang identik dengan nama warga setempat.
Ia menilai jika penyebab bentrok antara warga dengan militer beberapa waktu lalu karena pemerintah terlambat mendistribusikan lahan land reform. Seharusnya, katanya, segera dibentuk panitia distribusi. Menurut dia, tak ada institusi pemerintah yang progresif menangani kasus ini. "Konflik agraria akan menjadi bom waktu," katanya.
Selanjutnya, Komnas HAM bakal memanggil Panglima Kodam V Brawijaya untuk meminta penjelasan mengenai sejarah dan dokumen pengelolaan lahan tersebut. Informasi kedua belah pihak, katanya, penting untuk mengurai persoalan. Keduanya akan duduk satu meja untuk mencari jalan keluar.
EKO WIDIANTO