TEMPO.CO, Yogyakarta- Petani pesisir pantai Kulon Progo akan mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Daerah Istimewa Yogyakarta seusai Lebaran mendatang. Mereka akan menuntut pemberian sertifikat hak milik atas tanah yang didiami dan digarapnya selama puluhan tahun. "Kami dari Kulon Progo dan juga masyarakat di pesisir Bantul serta Gunung Kidul, seusai Lebaran nanti, akan ke BPN untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah yang selama ini kami tempati," kata aktivis Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Muhammad Ulin el Nuha, kepada Tempo saat mendampingi ribuan petani Kulon Progo di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, Senin 9 Juli 2012.
Ulin menilai sertifikasi diperlukan karena selama ini warga pesisir terombang-ambing dan hanya menjadi tumbal dalam rencana penambangan pasir besi, yang sahamnya dimiliki Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Ihwal penambangan pasir besi itu, selama ini, dalam kontrak karya tertuang menggunakan lahan dengan status Pakualaman Ground (PAG). "Padahal warga sudah berada dan menggarap tanah itu puluhan tahun," ujar Ulin.
Menurut dia, sesuai dengan aturan Undang-Undang Pokok Agraria 1960, jika masyarakat sudah menggarap suatu lahan tanah selama 30 tahun lebih, tanah yang ada statusnya adalah tanah merdeka. "Bukan lagi Pakualaman Ground atau Sultan Ground, maka kami perlu sertifikasi," kata dia.
Ulin khawatir, dengan penetapan Sultan sebagai Gubernur, akan berlaku sistem feodal. Akibatnya, petani penggarap di pesisir tak lagi mempunyai legitimasi dan tak berdaya menolak rencana penambangan pasir besi, yang hanya menguntungkan segelintir elite. "Sekarang, apakah tanah Keraton dan Pakualaman itu ada data inventarisasinya? Pasti enggak ada. Tapi kalau desa punya petanya, itu yang menjadi modal kami ke BPN," kata dia.
Aktivis PPLP, Widodo, menuturkan, pada peta desa dan keterangan buku besar desa, Pakualaman Ground hanya 200 hektare dan lokasi penambangan ini luasnya 3.000 hektare. Widodo juga merujuk pada pemberlakuan Undang-undang Pokok Agraria di DIY. "Klaim pada tanah swapraja menjadi tidak berlaku," kata dia.
Toh Kerabat Puro Pakualaman KPH Tjondrokusumo menilai tuntutan petani pesisir pantai Kulon Progo itu tidak bisa dilakukan. "Itu tanah swapraja. Mereka boleh memakainya, tapi tidak untuk memiliki," kata dia.
Penolakan itu dibenarkan oleh salah seorang anggota tim asistensi Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, Suyitno. Menurut dia, sertifikasi tanah oleh BPN hanya bisa dilakukan jika Sultan Ground dan Pakualaman Ground itu secara resmi sudah diberikan kepada masyarakat melalui hukum adat yang benar. Menurut dia, meski sudah ditempati selama 50 tahun, tanah itu tidak bisa disertifikatkan. "Kalau selama belum, ya enggak bisa. Hak itu enggak datang dari langit," kata Suyitno.
Menurut Suyitno, pada 1918, sebagian tanah, baik Sultan Ground maupun Pakualaman Ground, sudah diberikan izinnya oleh Keraton dan Pakualaman untuk menjadi hak milik masyarakat secara turun-temurun. Pada 1954, izin itu diubah menjadi bentuk hak milik.
Pada demonstrasi petani itu, kerabat Keraton Yogyakarta, Raden Mas Adjikoesoemo, membagikan buku berjudul “Pembelaan Tanah untuk Rakyat, Jogja Gate, Pengkhianatan terhadap HB IX dan PA VIII” kepada anggota DPRD DIY. Buku itu diterima oleh Wakil Ketua DPRD DIY Tutiek M. Widyo.
Keturunan Hamengku Buwono III ini mendukung perjuangan petani pesisir itu. "Sultan HB IX dan PA VIII mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954, di mana pasal 10 mengatakan bahwa orang yang memakai tanah secara turun-temurun, (tanah itu) bisa dijadikan hak milik," kata Adji yang disambut dengan teriakan massa petani. Sebelumnya, Adjikusumo juga menyerahkan buku itu kepada Kepala Kepolisian Daerah DIY yang diwakili oleh Kepala Pelayanan Polda DIY Komisaris Riyanto. "Adalah bohong jika SG dan PAG masih berlaku di DIY. Justru itu sudah tidak ada. Jadi proyek Keraton yang mengatasnamakan SG dan PAG itu melawan hukum."
PRIBADI WICAKSONO | PITO AGUSTIN RUDIANA