TEMPO.CO, Blitar -- Sebanyak sembilan anak di Kelurahan Tanggung, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar, dilarang bersekolah. Pelarangan ini merupakan sanksi bagi orang tua mereka yang menolak rencana Pemerintah Kota Blitar membangun proyek rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dan sekolah anak penderita autis (autis centre).
Para orang tua siswa itu mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Blitar mengadukan kesewenang-wenangan pemerintah daerah dan meminta anak-anak mereka diterima bersekolah kembali.
Hadi, salah satu warga Kelurahan Tanggung, mengatakan dua anaknya beserta tujuh siswa asal desa itu ditolak saat melakukan daftar ulang di sekolah masing-masing. Mereka terdiri dari tiga siswa SMPN 7, satu siswa SMPN 4, tiga siswa SMKN 3, dan dua siswa SMAN 4 Kota Blitar. "Tiba-tiba sekolah tidak menerima daftar ulang anak saya," kata Hadi kepada Tempo.
Kepada mereka, pihak sekolah mengaku mendapat intimidasi dari warga yang menyetujui pembangunan rusunawa dan autis centre agar menolak pendidikan anak-anak tersebut. Hal ini merupakan sanksi kepada sejumlah warga Kelurahan Tanggung atas sikap mereka yang menolak pendirian proyek. Sebagian warga menolak karena bangunan itu didirikan di atas lahan pertanian produktif meskipun lahan itu berstatus milik pemerintah.
Menurut Hadi, penolakan sekolah ini membuat anak-anaknya, Capril Hariyanto dan Fadila Rifani, siswa kelas 1 dan kelas 2 SMPN 7 Kota Blitar stres. Mereka malu keluar rumah karena tak lagi bersekolah. "Anak saya sampai sakit," katanya.
Pengakuan serupa disampaikan Jiman, ayah dari Sinta Purnama Dewi, siswa kelas dua SMA 4 Blitar. Dia kaget setengah mati ketika tiba-tiba pihak sekolah menolak pengajuan daftar ulang anaknya karena konflik lahan tersebut. "Kabarnya ini ada campur tangan pemerintah," katanya.
Ketua Komisi 1 DPRD Zubaidi yang menerima mereka bertindak cepat dengan memanggil seluruh kepala sekolah tersebut beserta Kepala Dinas Pendidikan Santoso. Sayang pertemuan yang berlangsung tertutup itu tak membuahkan hasil.
Santoso menolak menjelaskan duduk persoalannya dengan alasan masih mencari solusi bersama wali kota. Dia juga enggan berkomentar soal tudingan adanya campur tangan wali kota atau pejabat pemerintah Blitar dalam penolakan sekolah ini. "Kami masih cari jalan keluarnya," katanya singkat.
Setali tiga uang dengan Santoso, tak satu pun kepala sekolah yang bersedia memberikan keterangan. Mereka langsung meninggalkan ruang rapat dengan terburu-buru.
Di lain pihak, Subaidi mengecam keras aksi tersebut. Dia memerintahkan kepala sekolah untuk menerima anak-anak itu karena tidak terkait konflik proyek. "Memang ada intimidasi kepada sekolah, tapi masih kami cari," katanya.
HARI TRI WASONO