TEMPO.CO, Jakarta - Sidang gugatan Gubernur Bali Made Mangku Pastika terhadap harian Bali Post terus berlanjut. Dalam sidang hari ini ahli ilmu komunikasi politik Tjipta Lesmana yang dihadirkan sebagai saksi ahli menyatakan Bali Post telah melakukan kesalahan fatal.
“Kesalahan itu telah memunculkan berita bohong yang kemudian dikembangkan menjadi alat melakukan pembunuhan karakter,” ujar Tjipta Lesmananya di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis 24 Mei 2012.
Kesalahan pertama karena wartawan Bali Post ternyata tidak hadir dalam peliputan yang kemudian diberitakan, yakni saat Gubernur meninjau korban bentrokan antara dua desa adat di Klungkung. “Itu berarti wartawan melakukan plagiarism karena mengutip dari liputan wartawan lain,” katanya.
Kesalahan makin fatal karena wartawan tidak melakukan cek dan ricek kepada sumber utama, yakni Gubernur sendiri. “Padahal ini mengenai masalah adat yang sangat sensitif di Bali hampir sama dengan masalah SARA di zaman Orde Baru,” ujarnya. Sanksi bagi kesalahan itu, kata dia, seharusnya sangat berat karena wartawannya harus dipecat dan tidak boleh lagi menjalankan profesi wartawan.
Mengenai pemuatan berita yang diterbitkan pada 19 September 2011, menurut dia, sangat sumir. Sebab judul berita "Gubernur: Bubarkan Desa Pekraman" sama-sekali tidak dielaborasi atau dipaparkan dalam tubuh berita. Padahal sudah menjadi panduan universal dalam jurnalistik bahwa judul merupakan kesimpulan dari isi berita.
Sementara itu mengenai pembunuhan karakter yang dilakukan, Tjipta merujuk pada tidak adanya upaya Bali Post untuk melakukan konfirmasi kepada Gubernur Pastika. Sementara upaya Pastika untuk melakukan klarifikasi tidak pernah dimuat.
“Bali Post pun terus mengembangkan pendapat dan komentar seolah-olah Gubernur benar-benar menyatakan perintah pembubaran,” katanya. Dia bahkan menyimpulkan adanya kepentingan politik untuk menjatuhkan Pastika dari kursi gubernur dan tidak maju lagi pada pemiihan berikutnya.
Atas pernyataan Tjipta, pengacara Bali Post, Suryatin Lijaya, mengatakan mereka berpegang pada keputusan Dewan Pers yang menyebut berita Bali Post adalah kredibel dan jelas sumbernya. “Jadi jelas itu bukan berita bohong,” katanya. Kelemahan berita Bali Post, kata dia, hanyalah karena tidak adanya cek dan ricek. Soal ketidakhadiran wartawan, kata Suryatin, bukan masalah karena Bali Post mempunyai sumber yang berbeda.
Adapun mengenai tuduhan pembunuhan karakter melalui pencemaran nama baik, menurutnya, bukan berada di wilayah hukum perdata tapi berada di ranah pidana. Pihak Bali Post juga telah melayani hak jawab dengan memuat somasi dari pihak Gubernur Pastika dan bahkan disertai permintaan maaf. “Untuk selanjutnya, biarlah pengadilan yang menentukan,” ujar dia.
ROFIQI HASAN