TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Tobacco Control Support Center Kartono Mohamad menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi tentang kawasan anti-merokok tidak berimplikasi hukum serius. Putusan Mahkamah terebut menghapus kata "dapat" pada penjelasan Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan.
"Walaupun ada putusan tersebut, ketentuan lainnya yang mengatur tempat merokok tetap dapat berjalan," kata Kartono dalam konferensi pers di kantor Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, Senin, 14 Mei 2012.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan penjelasan Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan bertentangan dengan Pasal 28 D, G, dan I Undang-Undang Dasar. Karena itu, kata "dapat" dalam kalimat "khusus untuk tempat bekerja, tempat umum, dan tempat lainnya "dapat" menyediakan tempat merokok" harus dihapuskan.
Akibat putusan ini, banyak yang menafsirkan konsekuensi putusan tersebut terhadap kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia, khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. "Ini menimbulkan kebingungan kepada publik dan para pembentuk kebijakan yang sedang menerapkan peraturan daerah tentang kawasan daerah tanpa merokok," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo.
Sementara Kartono mengatakan, setiap daerah, provinsi, kabupaten, dan kota tetap memiliki kewajiban untuk menjalankan Undang-Undang Kesehatan. Termasuk amanah Undang-Undang Kesehatan yang mewajibkan dibentuknya kawasan tanpa rokok.
Hal senada juga diucapkan oleh Kepala Bidang Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan. Ia menyatakan putusan itu tidak bertentangan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang Kawasan Dilarang Merokok.
"Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2012 itu tetap valid walau ada keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut," kata Ridwan dalam konferensi pers yang sama. Karena putusan Mahkamah itu bersifat umum, sedangkan peraturan daerah bersifat teknis.
Ridwan menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak memberikan perincian mengenai hal-hal yang terkait teknis dan nonteknis maupun persyaratan lain mengenai tempat khusus merokok. Putusan itu, lanjutnya, dapat diinterpretasikan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah memiliki wewenang mengatur wilayah bebas rokok dengan tetap mengacu pada perlindungan masyarakat dari paparan asap rokok orang lain.
"Jadi peraturan daerah mengenai penyediaan tempat khusus merokok yang berada di luar ruangan atau di luar tempat tertutup tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan tetap dapat dijalankan," kata dia. Termasuk ketentuan Peraturan Gubernur DKI Jakarta yang mengamanahkan disediakannya tempat khusus merokok di luar gedung bagi tempat kerja maupun tempat umum.
Hal ini pula yang membuat pemerintah Jakarta tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan peraturan gubernur tersebut, tanpa ada revisi apalagi pencabutan. Mereka mengatakan peraturan itu masih relevan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan tanpa Rokok.
RAFIKA AULIA