TEMPO.CO, Yogyakarta -- Seratusan lebih massa dari 10 kelompok masyarakat di Yogyakarta menggelar aksi antikekerasan di kawasan Titik Nol Kilometer Jalan Malioboro, Jumat 11 Mei 2012 siang. Aksi tersebut sebagai respons kekerasan oleh massa Majelis Mujahidin Indonesia yang membubarkan paksa diskusi buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji di kantor Lembaga Kajian Islam Sosial (LKiS) Yogyakarta, Rabu lalu.
“Lah itu, (peristiwa seperti itu) tidak boleh terulang lagi,” kata koordinator umum aksi antikekerasan M. Imam Aziz. Ia menegaskan aksi kelompok seperti itu harus dihentikan. “Yogja harus tetap aman dan damai,” kata dia.
Dalam pernyataan sikapnya, massa menuntut MMI dibubarkan. Selain itu, dalam poster aksi terpampang sejumlah kecaman. Di antaranya “MMI Preman Berkalung Sorban” dan “Tolak Fasisme Berkedok Agama”.
Imam mengatakan kelompok MMI semacam itu sebenarnya tidak besar. Mereka hanya vokal dan kerap melakukan kekerasan. “Yang mayoritas, kan, sebenarnya cinta damai,” kata lelaki yang menjabat sebagai salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu.
Selain warga NU, aksi itu juga diikuti oleh Syarikat Indonesia, Sekretariat Bersama Keistimewaan Yogyakarta, PMII, GMNI, Gusdurian, FS KMMJ, FAM-J, Aji Damai dan Forum LSM Yogyakarta.
Menurut Imam, aksi antikekerasan ini adalah sebuah gerakan budaya. Kekerasan tak bisa dilawan dengan kekerasan. Upaya penuntasan kasus kekerasan harus dilakukan sesuai proses hukum yang berlaku. “Kalau dilawan dengan kekerasan pula maka akan terjadi lingkaran kekerasan,” katanya.
Ia menambahkan, setelah penyerbuan ke kantor LKiS, Gerakan Pemuda Anshor juga telah mendatangi Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mendesak agar peristiwa itu segera diusut tuntas.
ANANG ZAKARIA