TEMPO.CO, YOGYAKARTA - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga Raja Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat Sri Sultan HB X menyerukan sabdatama (pernyataan penting) ke 5 Kepala Daerah kabupaten/ kota di DI Yogyakarta. Mereka dipanggil ke Bangsal Kencono, Keraton Yogyakarta Kamis 10 Mei 2012.
Acara yang berlangsung sakral dan tak lebih dari lima menit itu turut hadir lima kepala daerah seperti Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Sleman Sri Purnomo, Bupati Gunung Kidul Badingah, dan Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo. Para kepala daerah itu datang ke Bangsal Kencono mengenakan baju peranakan sejak pukul 13.30 WIB. Sabdotomo sendiri mulai disampaikan sekitar pukul 14. 30 WIB.
Dalam pernyataan yang dilangsungkan mendadak sore itu Sultan didampingi permaisuri GKR Hemas dan Raja Pakualaman sekaligus Wakil Gubernur DIY Pakualam IX menyatakan sedikitnya empat poin utama dalam bahasa Jawa.
Pertama, Sultan menyatakan “Dene Kraton Ngayogyakarta saha Kadipaten Paku Alaman iku, loro-loroning atunggal” (bahwa Keraton Yogyakarta dengan Kadipaten Paku Alaman sebagai satu kesatuan yang manunggal tak terpisahkan).
Kedua, Sultan menyebut, “Mataram iku negri kang merdika lan nduweni paugeran lan tata kaprajan dewe,” (Mataram sebagai negeri yang merdeka dan memiliki tata adat dan aturan sendiri).
Ketiga dikatakan, “Kaya kang dikersaake lan dikaperangake, Mataram ngesuhi Nuswantara, nyengkuyung jejeging negara, nanging tetep ngagem paugeran lan tata kaprajane dewe” (Seperti yang diharapkan dan diperbolehkan, Mataram termasuk di dalam Nusantara, mendukung tegaknya negara, tapi tetap memegang norma tradisi dan pemerintahan-kerajaan sendiri,)
Terakhir Sultan menegaskan, “Kang mangkana iku kaya kang dikersaake, Sultan Hamengku Buwono sarta Adipati Paku Alam kang jumeneng, katetepake jejering Gubernur lan Wakil Gubernur,” (Sebab itu seperti yang diinginkan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang bertahta yang ditetapkan bersama sebagai Gubernur lan Wakil Gubernur).
Usai membacakan pernyataan itu Sultan segera kembali ke keraton diikuti kerabat dan keluarga keraton lain. Adik tiri Sultan GBPH Prabukusumo mengaku tak berani menerjemahkan sabdatama itu. Suasana sangat hening dan khusyuk ketika sabdatama itu dibacakan.
“Tak ada keluarga yang diberi tahu. Saya juga tidak berani menerjemahkan, karena itu pernyataan resmi seorang Raja, mohon dipahami secara pribadi ,” kata Prabu.
Sementara itu cucu HB VIII, KRT H Jatingrat yang akrab disapa Romo Tirun yang hadir dalam acara itu menuturkan sabdatama merupakan pernyataan utama seorang raja yang melihat adanya persoalan tengah berkecamuk saat ini di wilayah DI Yogyakarta.
“Ada sebuah situasi yang menghendaki adanya kesatuan antara Pakualaman dan Keraton Yogya karena adanya persoalan,” kata dia. Ditanya persoalan itu apakah terkait RUUK, Tirun menilai terlalu jauh jika dikaitkan ke situ.
“Saya rasa karena persoalan belakangan yang terjadi di Yogyakarta,” kata dia. Tirun memisalkan salah satunya soal adanya deklarasi Pangeran di Pakualaman yang diluar tata cara. ”Pernyataan manunggal itu bisa diartikan bahwa HB X masih mengakui penuh PA IX yang bertahta sekarang,” kata dia
Namun kata Tirun abdtama itu juga bisa dilihat dengan rentetan persoalan yang belakangan terjadi beruntun di Yogya. Seperti diketahui, sepekan terakhir di Yogya terjadi kisruh mahasiswa dengan warga yang membuat puluhan rumah di Sleman rusak, konflik warga berbau agama seperti tempat ziarah di Gunung Kidul yang dipersoalkan, hingga terakhir soal kisruh dalam diskusi Irshad Manji di Yogya.
Sabdatama ini dikatakan Tirun pernah dilakukan juga Keraton Yogya dan Pakualaman di masa HB IX, pada maklumat 30 Oktober 1945 silam, usai deklarasi proklamasi kemerdekaan NKRI. Modelnya sama, dengan memanggil semua pimpinan dan tokoh yang ada dan menyatakan bahwa Keraton Yoga dan Pakualam sebagai kesatuan manunggal tak terpisah. “Nadanya dulu juga seperti ini,” kata dia.
Sementara sejarawan dan budayawan Universitas Gadjah Mada Prof Djoko Suryo kepada Tempo menafsirkan maksud Sultan menyampaikan sabdatama itu karena munculnya kegelisahan akan adanya keadaan yang kacau khususnya di tingkat lokal Yogyakarta yang membuat masyarakat bingung dan cemas.
“Pemanggilan kepala daerah itu seperti isyarat pada para pemimpin daerah agar tak lengah untuk menjaga wilayahnya, tak terpengaruh konflik, dan tetap menjalankan tugasnya sebagai pengayom,” kata dia.
Guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM itu melihat sabdatama itu pernah dilakukan HB IX dalam meredakan gejolak yang terjadi pada masa pancaroba kemerdekaan yang melalui proses peralihan kekuasaan Belanda ke Jepang kemudian menjadi NKRI.
“Kalau sekarang konteksnya gejolak itu ya bisa macam-macam di Yogya, mulai dari konflik yang mengatasnamakan agama, perusakan fasilitas dan rumah warga, adu domba, yang intinya membuat warga cemas,” kata dia. Sabdatama iotu pun dikeluarkan sebagai ‘perintah’ kembali kepada pimpinan yang ada golong-gilig untuk menyatukan yang tercerai.
Turut hadir dalam sabdatama itu para kerabat dan keluarga keraton Yogyakarta seperti GBPH Hadiwinoto, GBPH joyokusumo, GKR Hemas serta para kerabat keraton lain. Selain itu ada para alim ulama yang menganakan baju sorban putih.
PRIBADI WICAKSONO.