Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta: Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah itu, dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, selasa (24/2) petang, menyatakan bahwa pasal itu tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah "Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya." Majelis hakim berpendapat, pasal itu tidak relevan dengan rekonsiliasi yang menjadi tekad nasional bangsa Indonesia, meski menekankan bahwa keterlibatan PKI dan organisasi massa di bawahnya dalam peristiwa G 30 S/PKI tidak diragukan lagi oleh sebagian terbesar penduduk Indonesia. Sidang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqie dan delapan hakim anggota. Pembacaan putusan 40 halaman itu dilakukan bergantian oleh para hakim dan disimak dengan tekun oleh pemohon pertama dari Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orba dan pemohon kedua dari mantan tahanan politik eks PKI. Mahkamah itu meminta agar setiap warga negara yang bekas anggota PKI dan organisasi massa di bawahnya, harus diperlakukan sama dengan warga negara Indonesia yang lain tanpa diskriminatif. Pada bagian ini, ratusan pengunjung dan para pemohon tak mampu menahan kegembiraannya dengan bertepuk tangan yang disambut dengan teguran oleh Jimly. Pada awal sidang, Ketua MK memang meminta pemohon dan pengunjung menahan diri baik oleh sebab kecewa atau gembira dengan keputusan majelis hakim. Dalam persidangan itu majelis hakim juga menolak permohonan yang diajukan oleh sebagian pemohon pertama, yakni 22 orang yang mengajukan permohonannya pada 15 Oktober 2003, meski intisari permohonannya tak jauh berbeda dengan enam pemohon pertama yang lain dan pemohon kedua. Majelis hakim berpendapat ke-22 orang itu, yang didalamnya termasuk Deliar Noer dan Sri Bintang Pamungkas, tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam kasus itu. "Karena tidak terbukti ada keterkaitan sebab akibat sehingga mereka dirugikan, mereka juga bukan anggota PKI atau organisasi massa di bawahnya dan tidak terlibat langsung maupun langsung dengan G30S/PKI," kata majelis beralasan. Pada amar putusan itu juga disebutkan adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat) yang terjadi dalam musyarawah hakim. Dissenting opinion datang dari Hakim Achmad Rustandi. Hakim Rustandi mengatakan pasal 60 huruf G itu kelihatan seolah-olah tidak sejalan dengan semangat UUD karena pencarian maknanya dilakukan secara kajian, bukan secara sistematis dikaitkan dengan pasal-pasal lainnya. Menurut dia, pasal itu lebih merupakan pembatasan yang setara dengan pasal 60 yaitu pembatasan umur, pendidikan, dan kondite politik. "Dalam menjalankan hak dan kewajiban setiap warga negara tunduk pada pembatasan yang diterapkan UU untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kewajiban itu," kata purnawirawan Letnan Jenderal TNI ini. Usai sidang, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqie menegaskan bahwa keputusan itu, berdasarkan ketentuan Undang-Undang sudah bersifat final. Para pejabat publik atau subjek hukum tata negara, kata dia, sebaiknya tak berkomentar apapun terhadap keputusan itu melainkan menghormati dan menjalankannya. Sebaliknya, bagi masyarakat umum Jilmy mempersilakan untuk bersilang pendapat dan pakar hukum membuat kajian ilmiah atas putusan itu. "Pro dan kontra itu sehat," kata dia. Mengenai penerapan putusan itu pada Undang-Undang Pemilu, Jimly menegaskan bahwa putusan itu berlaku hanya bagi persoalan yang terkait dengan pasal 60 huruf G. Jadi tidak berkaitan dengan hal lain, semisal eksistensi PKI atau TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 yang menetapkan PKI dan organisasi massa di bawahnya sebagai organisasi terlarang. Putusan itu, kata Jimly, juga berefek ke depan. Artinya akibat hukum yang terjadi akibat penerapan putusan itu mulai berlaku hari ini. Maka, menurut Jimly, sudah tak memungkinkan mencopot calon anggota legislatif dari daftar yang sudah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan dalil pasal 60 huruf G itu. Para pemohon umumnya menyambut gembira putusan majelis hakim itu. Kuasa Hukum para bekas napol, Witaryono Reksoprojo, mengatakan putusan itu merupakan yurisprudensi yang sangat penting dan berkaitan dengan UU lain yang bersifat diskriminatif. Secara nasional, kata dia, putusan itu memayungi seluruh kepentingan bangsa. "Tidak an sich kepada persoalan Pemilu tapi persoalan diskriminasi yang lain," kata Reksoprojo. Dia menjelaskan, ada banyak UU yang diskriminatif, misalnya UU Veteran, yang mendiskriminasikan korban tahun 1965 sehingga tak bisa menjadi veteran. Di dalam konteks pemilu 2004, Witaryono melanjutkan, putusan itu memang belum memungkinkan karena dinyatakan tidak berlaku surut, khususnya soal pemohon yang dibatalkan pencalonannya sebagai anggota legislatif akibat terkait PKI. Yaitu yang dialami oleh Sutarko Hadiwacono caleg nomor 1 dari Daerah Pemilihan 6 Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dari Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan. "Jadi tidak mungkin diterapkan dalam persoalan pemilu sekarang. Tapi untuk persoalan yang diskriminatif lainnya ini merupakan yurisprudensi," kata dia. Kuasa hukum Lembaga Rehabilitasi Korban Rezim Orba, Erna Ratnaningsih, mengatakan pertimbangan majelis hakim itu memuaskan, walaupun sebagian dari para pemohon mereka ditolak. Menurut pengacara dari LBH Jakarta ini, selain mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945, majelis juga juga memasukkan aturan-aturan universal seperti Hak Asasi Manusia dan artikel 25 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Mengenai pemohon yang tidak dikabulkan, menurut Erna, permasalahannya adalah karena gugatan ke-22 orang itu diajukan sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk. "Nah majelis hakim Mahkamah Konstitusi mengacu pada UU yang baru, bukan yang lama," ujar dia. Lagi pula, kata dia, penambahan enam orang pemohon baru itu adalah atas nasehat majelis hakim Mahkamah Konstitusi juga. Sebagai akibat dari putusan itu, Lembaga Rehabilitas itu, kata Erna, meminta DPR dan pemerintah menghormati isi putusan. Dengan demikian, calon anggota DPRD sempat dibatalkan pencalonannya, kata dia, harus direview lagi. Bukankah putusan itu tak berlaku surut? "Saya pikir harus kita lihat bahwa putusan kan juga berhubungan dengan UU Pemilu, jadi kita ada pengecualianlah," kata Erna, meminta. Deddy Sinaga - Tempo News Room