TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pendekatan dan metode pengungkapan kecurangan ujian nasional versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kurang kuat.
"Pembuktian kecurangan dengan melihat pola jawaban tidak sepenuhnya dapat diandalkan," kata Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri saat konferensi pers di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Senin, 23 April 2012.
Menurut dia, pola pembuktian yang digunakan Kementerian saat ini dapat direkayasa sekolah dan murid dengan sedemikian rupa. Dengan begitu, tidak terlihat pola jawaban yang sama dan memperlihatkan adanya indikasi kecurangan.
"Seharusnya pembuktian kecurangan dalam ujian harus mengandalkan kesaksian dari saksi pelaku atau yang menyaksikan kecurangan," ucapnya. Sementara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menurut dia, tidak dapat melindungi para saksi yang melaporkan kecurangan.
Ia khawatir kasus kecurangan tahun lalu yang dilaporkan oleh Siami, warga Surabaya, terulang kembali. Tahun lalu, Siami melaporkan kecurangan di SD Negeri 2 Gadel Surabaya. Namun kasus kecurangan itu mandek di tengah jalan dan Siami serta anaknya dikucilkan lingkungan dan sekolah tempat mereka berada.
Karena itu, ICW bekerja sama dengan LPSK membuka posko pengaduan di 18 kabupaten/kota. Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan pembukaan posko ini bertujuan memberikan perlindungan dan rasa aman bagi saksi yang ingin memberikan pengaduan kecurangan ujian nasional.
"Mengungkapkan kecurangan saat ini tidak mudah," kata Abdul. Sebab, katanya, kasus Siami itu membuat pelapor khawatir akan diintimidasi dan mendapat perlakuan yang merugikan mereka dari lingkungannya apabila melaporkan kecurangan saat ujian nasional.
Senada dengan Abdul, Febri mengatakan banyak pelapor enggan melaporkan kecurangan karena takut diserang balik. Sementara pemerintah ia nilai tidak dapat mencegah penyerangan balik itu.
Konsep posko pengaduan bentukan ICW dan LPSK ini diklaim keduanya mampu meminimalkan serangan balik masyarakat kepada pelapor. "Jika terjadi tekanan kepada pelapor, pasti akan kami tindak lanjuti sesuai dengan kewenangan kami," ucap Abdul.
Caranya dengan merahasiakan para pelapor dan melanjutkan pelaporan itu dengan cara memverifikasinya. Jika benar terjadi kecurangan, maka akan diteruskan ke Kementerian.
Abdul juga berjanji, jika ditemukan indikasi intimidasi kepada pelapor, LPSK akan menindak sesuai tugas dan kewenangan mereka. Seperti akan mempidanakan pengintimidasi atau membawa pengintimidasi ke ranah perdata jika sampai menimbulkan kerugian pada pelapor.
Selain itu, Febri menilai pembukaan posko pengaduan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya melegitimasi bahwa ujian nasional berlangsung bersih. Padahal, katanya, banyak laporan yang diterima ICW menunjukkan indikasi ujian nasional tidak berjalan dengan jujur.
Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Haryono Umar mempersilakan pendirian posko pengaduan baru itu. Namun ia membantah sistem pelaporan pengaduan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lemah.
"Seluruh aduan yang masuk pada kami pasti akan diverifikasi oleh auditor lapang kami," katanya saat konferensi pers di kantornya, Senin, 23 April 2012.
Kepala Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ibnu Hamad juga membantah pelapor yang memberikan laporannya tidak terlindungi.
Ia menjelaskan setiap laporan yang masuk di Posko Pengaduan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan dirahasiakan namanya. Bagi yang tidak berkepentingan dilarang mencatat dan menyebarkannya.
RAFIKA AULIA