TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Hakim menyayangkan kandasnya usulan pemilihan umum menggunakan sistem proporsional tertutup dalam pembahasan RUU Pemilu. Menurut dia, belajar dari pengalamannya selama dua periode menjadi anggota parlemen, sistem tertutup justru memperlemah kinerja Dewan Perwakilan Rakyat.
"Partai politik hanya jadi kendaraan politik bagi mereka yang cukup pendanaannya," katanya dalam diskusi di Jakarta, Sabtu, 14 April 2012.
Pelaksanaan pemilu tidak efektif dan jor-joran duit. Hakim mengutip sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa setiap individu yang ingin maju menjadi legislator minimal harus menyiapkan dana sebesar Rp 2 miliar.
Dampaknya, orang yang terpilih sebagai anggota Dewan hanya akan berpikir bagaimana caranya bisa mengembalikan modal. Cara paling cepat, ya korupsi. "Kalau sudah jadi, pasti implikasinya jadi negatif," kata dia.
Sejak awal, menurut dia, PKS ingin sistem proporsional tertutup dengan alasan memperkuat kaderisasi partai dan mempermurah biaya pemilu. Berbeda dengan sistem terbuka yang membuat para calon dengan mudah loncat atau pindah ke partai lain.
"Sangat liberal, tergantung pendanaan," katanya. Ia mengkhawatirkan kader-kader terbaik partai justru gagal terpilih karena tidak ada pendanaan cukup.
Namun, karena keputusan telah diketok palu, PKS menyatakan kesiapannya menaati perundang-undangan yang berlaku. "Ini proses politik yang panjang. Pada akhirnya, produk manusia memang tidak ada yang sempurna."
Sidang Paripurna DPR telah menyepakati pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilu menjadi undang-undang. Beleid baru menyepakati pemberlakuan ambang batas parlemen 3,5 persen berlaku secara nasional. Jumlah kursi per daerah pemilihan 3-10 kursi untuk nasional dan 3-12 kursi untuk daerah dengan sistem pemilu terbuka.
ANANDA PUTRI