TEMPO.CO, Denpasar - Gubernur Bali Made Mangku Pastika bergeming dalam kasus gugatan terhadap media Bali Post. Dia menilai berita berjudul “Gubernur: Bubarkan Desa Pekraman” tidak kredibel.
“Berita tanggal 19 September itu adalah tidak benar dan wartawan Bali Post tidak berada di lokasi,” kata Nyoman Sumantha yang membacakan replik pihak Pastika di PN Denpasar, Senin, 12 Maret 2012. Kesalahan menjadi lebih parah, kata dia, karena wartawan tidak melakukan check dan recheck atas informasi yag diperolehnya.
Pada 20 September, menurut pihak Pastika, Bali Post justru kembali memutarbalikkan pernyataan gubernur. Permintaan maaf kepada anggota DPRD Bali karena belum membaca koran Bali Post justru ditulis sebagai permintaan maaf gubernur karena mengeluarkan statement akan pembubaran Desa Pekraman (adat-red).
Pemberitaan yang disebut Pastika sebagai sebuah kebohongan itu telah meresahkan masyarakat Bali, terbukti dengan munculnya pertanyaan dari kalangan adat dan agama Hindu. Apalagi Bali Post kemudian mengembangkan opini publik yang seolah membenarkan adanya pernyataan itu dan terus menyudutkan gubernur tanpa melakukan konfirmasi.
Sementara itu Pastika menyebut, gugatan perdata adalah tidak melanggar hukum. Hak itu dijamin oleh undang-undang, misalnya pada Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Lagipula kami telah menggunakan hak jawab yang disampikan bersama somasi pada 23 September 2011,” kata Sumantha.
Sebelumnya dalam jawaban atas gugatan (duplik), pihak Bali Post menyatakan, adanya pernyataan gubernur yang memerintahkan pembubaran desa adat atau setidaknya pada dua desa yang bertikai. Bali Post memperolehnya dari sumber yang kredibel yang tak disebutkan dalam pemberitaan.
Dalam sidang di Dewan Pers diputuskan, sumber berita Bali Post adalah kredibel namun kurang seimbang. Pihak Bali Post juga menyoalkan keengganan Pastika menempuh jalur UU Pers dengan menggunakan hak jawab sebagaimana telah direkomendasikan oleh Dewan Pers.
ROFIQI HASAN