TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap melanggengkan gelar pahlawan bagi penguasa Orde Baru, Soeharto. "MK yang lahir di zaman reformis malah tidak punya perspektif mengoreksi masa lalu," ujarnya ketika dihubungi Tempo, Jumat, 10 Februari 2012. "Jadi masalah kalau Soeharto jadi pahlawan."
Mahkamah Konstitusi Kamis kemarin menolak permohonan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009. Pasal itu berisi tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Haris menganggap penolakan permohonan ini akan melenggangkan Soeharto mendapat gelar pahlawan.
Haris menganggap Soeharto bukanlah figur yang pantas dijadikan pahlawan. "Semasa ia memimpin, ada banyak pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, kolusi, dan nepotisme," katanya. Kalaupun ada pembangunan, hal itu wajar. "Pembangunan kan memang sudah tugas seorang presiden."
Menurut dia, pemberian gelar terhadap Soeharto akan merusak generasi mendatang. Anak-anak Indonesia mendatang akan belajar tentang tokoh-tokoh pahlawan yang bisa jadi panutan. "Mengetahui Soeharto jadi pahlawan, akan jadi contoh buruk."
Tak hanya generasi bangsa, para keluarga korban era Orde Baru akan terlukai oleh pemberian gelar. "Pukulan psikologis yang kuat bagi keluarga korban mengetahui Soeharto malah dianugerahi gelar pahlawan atas apa yang ia lakukan."
Haris mengharapkan MK lebih jeli mendefinisikan pahlawan. "Undang-undang sekarang berpotensi menjadikan orang yang tak layak jadi pahlawan mendapat gelar pahlawan."
Terkait dengan keputusan MK, Kontras sebagai advokat aktivis 1998 akan berdiskusi kembali untuk membahas hasil ini. "Senin depan kami akan berkumpul guna membahas rencana ke depan," ujarnya.
Para aktivis 1998 menguji materi Pasal 1 angka 4, Pasal 25, dan Pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan ke Mahkamah Konstitusi. Para aktivis 1998 antara lain Ray Rangkuti, Muhammad Chozin Amirullah, Asep Wahyuwijaya, A.H. Wakil Kamal, Edwin Partogi, Abdullah, Arif Susanto, Dani Setiawan, Embay Supriyanto, Abdul Rohman, dan Herman Saputra.
Para pemohon menganggap Pasal 1 angka 4 UU 20/2009 harus diperluas tafsirnya, yaitu warga negara yang mendapat gelar pahlawan nasional bukan hanya yang gugur karena membela bangsa dan negara, tetapi juga membela kebenaran selama berjuang melawan ketidakadilan.
Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi, menyatakan pokok permohonan yang diajukan pemohon tak beralasan menurut hukum. Maka dari itu, Kamis, 9 Februari 2012, Mahkamah menolak seluruh permohonan.
ANANDA PUTRI