TEMPO Interaktif, Kediri - Dalam keterbatasan ekonomi, Muhammad Arul Eliya Latif harus menanggung penderitaan karena tumor saraf yang cukup ganas. Bocah lima tahun itu hanya bisa menangis di pelukan ibunya saat rasa nyeri menyerang kelopak matanya yang terus membengkak.
Kondisi mengenaskan ini dialami putra kedua pasangan Rudianto, 31 tahun, dan Darmi, 25 tahun, warga Dusun Sumbersari, Desa Sonorejo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Sejak usia tiga tahun, penyakit tumor saraf menyerang kedua matanya. Perlahan-lahan warna coklat kehitaman muncul dan mengelilingi kedua matanya. Disusul dengan pembengkakan kelopak mata hingga nyaris menutup bola mata. “Saya kira terbentur ranjang dan memar,” tutur Rudianto saat ditemui di rumahnya, Selasa, 7 Februari 2012.
Kekhawatiran Rudianto semakin menjadi ketika anaknya mulai mengalami demam. Saat diperiksakan ke bidan desa, Arul dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kediri, sebelum akhirnya berpindah ke rumah sakit swasta. Karena keterbatasan peralatan medis, lagi-lagi Arul dirujuk ke RSUD dr. Soetomo Surabaya untuk menjalani uji sumsum dan CT Scan otak. Hasilnya, Arul dinyatakan mengidap tumor saraf dan diwajibkan mengikuti kemoterapi.
Namun pengobatan tak berlangsung lama setelah kedua orang tua Arul mengaku kehabisan biaya. Rudianto yang bekerja serabutan di rumah orang tak mampu mengumpulkan biaya pengobatan meski telah mendapat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). “Saya tak punya ongkos bolak-balik ke Surabaya,” ujar Rudianto yang memutuskan membawa pulang anaknya.
Beruntung seorang bidan desa tergerak membantu perawatan Arul di rumah. Setiap hari bidan tersebut selalu mengontrol kondisi kesehatan Arul yang mengalami dehidrasi. Jika dibiarkan di rumah dan tak mendapat asupan cairan, kondisi Arul akan semakin memburuk. “Sejak satu minggu ini dia tidak mau minum sama sekali,” kata Restu Puspitasari, bidan yang merawatnya.
Saat ini kondisi Arul sangat memprihatinkan. Kelopak matanya yang terus membesar mulai menutupi sebagian bola matanya hingga terlihat sipit. Demikian pula lingkaran berwarna coklat semakin melebar mengelilingi mata. Tak hanya itu, sebagian tempurung kepala bagian kanan Arul juga membesar seperti penderita hydrocepalus. Setiap hari dia hanya merintih mengeluhkan nyeri yang tak tertahan pada kedua matanya. Beruntung sang kakak, Muhammad Alif Yoga Mahabi, 7 tahun, dengan sabar menemani adiknya di tempat tidur.
Ironisnya, derita yang dialami Arul ini terus berlanjut. Upaya orang tuanya untuk mendapatkan jaminan kesehatan masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Kediri gagal. Dengan alasan tak layak sebagai keluarga miskin, pengajuan Jamkesmas Arul ditolak. Menurut Rudianto, keluarganya dianggap mampu karena tinggal di rumah berlantai keramik. “Padahal ini rumah saudara, saya hanya numpang,” kata dia mengeluhkan.
Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Kediri, Edhi Purwanto, mengatakan penolakan pengajuan Jamkesmas tersebut akibat perbedaan verifikasi di lapangan. Saat petugas melakukan pemeriksaan beberapa tahun lalu, Rudianto diketahui memiliki pekerjaan. Namun saat sang anak sakit, Rudianto justru menganggur dan tidak memiliki penghasilan sama sekali. “Kami akan luruskan data ini dan melakukan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan,” katanya.
HARI TRI WASONO