TEMPO.CO, Semarang - Selama semester I tahun 2011 atau antara Januari dan Juni 2011, jumlah korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di wilayah Jawa Tengah mencapai 1.240 orang, terdiri atas 145 orang laki-laki dan 1.095 orang perempuan.
Data tersebut diambil dari data kekerasan terhadap anak dan perempuan yang dilaporkan di Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah.
“Angka ini sangat mengerikan. Boleh dibilang Jawa Tengah mengalami kejadian luar biasa (KLB) kasus kekerasan terhadap anak,” kata Sekretaris Yayasan Sukma Jawa Tengah, Evarisan, di Semarang, Jumat, 20 Januari 2012.
Kasus kekerasan di semester I 2011 memang naik tajam dibandingkan dengan tahun 2010. Selama semester I 2010, ada korban kasus kekerasan anak dan perempuan sebanyak 481 orang. Sedangkan di semester II ada korban sebanyak 859 orang.
Evarisan yang juga aktif di Pusat Pelayanan Terpadu Badan Pemberdayaan Anak dan Perempuan Provinsi Jawa Tengah mengakui bisa saja kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Tengah lebih banyak. Sebab, kata dia, data yang ada itu hanya yang dilaporkan saja ke Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah. “Sedangkan kasus kekerasan yang dialami anak dan perempuan yang tak dilaporkan bisa lebih banyak,” katanya.
Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan selama semester I 2011 jenisnya bermacam-macam, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, penelantaran dan lain-lain. Dari segi tempat terjadinya kekerasan, paling banyak terjadi di rumah tangga, yakni 682 orang. Adapun di tempat kerja 94 orang dan di tempat lain-lain sebanyak 623 orang. Sementara jumlah pelaku kekerasan ada 1.274 orang yang terdiri dari orang laki-laki 1.105 dan perempuan 169 orang.
Adapun dari segi usia, pelakunya didominasi orang dewasa, yakni sebanyak 1.098 orang dan pelaku kekerasan yang masih anak sebanyak 176 orang.
Evarisan menambahkan, banyaknya laporan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan menunjukkan bahwa hingga kini masih banyak masalah yang tak bisa diselesaikan untuk meningkatkan derajat perempuan dan anak.
Ia mengakui memang sudah ada berbagai undang-undang yang mengatur perempuan dan anak, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Anti Trafficking, dan lain-lain. Namun, Evarisan menyatakan masih ada persoalan di tingkatan implementasi. “Sebab, belum semua orang memiliki perspektif anti kekerasan terhadap perempuan dan anak,” katanya. Akibatnya, pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan juga tak dihukum secara maksimal.
Saat ini, data pelaporan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan untuk semester II 2011 masih dalam tahap perhitungan tabulasi. Evarisan memperkirakan, kasus kekerasan di semester II juga masih sangat banyak.
ROFIUDDIN