TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Majelis Adat (MAA) Provinsi Aceh, Tgk Badruzzaman, mengatakan anak-anak punk yang ditangkap polisi, kemudian dibina, harus ditangani melalui pendekatan sosial yang baik dan perlu dirangkul oleh seluruh masyarakat Aceh. "Ini tanggung jawab seluruh masyarakat Aceh, bukan hanya polisi," katanya kepada Tempo kemarin.
Sebanyak 65 punker berusia 18-25 tahun ditangkap polisi saat menggelar konser musik di Taman Budaya Banda Aceh, Sabtu pekan lalu. Saat polisi merazia, terdapat minuman keras dan narkoba. Selanjutnya mereka dibawa di Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar, untuk dibina selama 10 hari hingga 23 Desember mendatang. Dalam pembinaan itu, para punker diceburkan ke kolam dan rambut ala Mohawk mereka juga dicukur plontos.
Menurut Badruzzaman, tindakan yang diambil polisi sudah benar. Tapi kemudian pembinaan tak hanya selesai di Seulawah. "Selepas mereka dari sana, pemerintah, ulama, dan cendekiawan serta pemuda harus merangkul mereka dan membawa ke arah yang benar."
MAA akan memberi amaran kepada masyarakat adat di Aceh untuk menangani anak-anak ini. "Semua pihak harus mendukung pembinaan terhadap anak-anak punk itu dan anak muda Aceh umumnya," kata Badruzzaman.
Sementara itu, pemerhati sosial kemasyarakatan dan politik Aceh, Teuku Alfian Banta, SH, mengkritik tindakan pembinaan oleh polisi. "Kalau pembinaannya di sekolah polisi, tidak berkesinambungan. Sebab banyak polisi lulusan sana juga terindikasi narkoba sesudahnya. Ingat, sebelum penangkapan anak punk, sebanyak 1.000 polisi Aceh dinyatakan terindikasi narkoba," kata Alfian.
Menurut dia, selayaknya pemerintah beserta aparat bijak, cermat, dan hati-hati menyikapi komunitas punker. Solusi jangka pendek adalah menggiring komunitas ini melalui pendekatan praktis untuk masuk dalam wilayah pembinaan sosial, keagamaan, dan mengayomi mereka dengan adat dan budaya lokal. "Kalau mencukur rambut dan pembinaan singkat, tidak menjamin mereka tak akan mengulangi aktivitasnya," katanya.
ADI WARSIDI