TEMPO Interaktif, Banda Aceh - Anak-anak punk dilarang berkreasi di Aceh. Mereka ditangkap dan dibina kepolisian daerah. Pemerintah Daerah Kota Banda Aceh dan polisi menilai keberadaan mereka meresahkan masyarakat.
Wakil Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan anak-anak punk yang berada di Banda Aceh sudah meresahkan masyarakat. “Ada banyak keluhan masyarakat terhadap keberadaan komunitas mereka, yang juga terlibat narkoba dan minuman keras,” ujarnya kepada Tempo, Kamis, 15 Desember 2011.
Menurutnya, hal itu terbukti pada saat punker mengadakan konser di Taman Budaya, Banda Aceh, akhir pekan lalu. Mereka mengatasnamakan organisasi lain mengelabui Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk mendapatkan izin konser. Mereka juga melakukan pemalsuan surat.
Saat konser diadakan, pihak polisi melakukan razia kemudian menangkap mereka bersama beberapa barang bukti, narkoba, dan minuman keras. “Tindakan mereka sangat bertentangan dengan aturan syariat Islam di Aceh,” ujarnya.
Dalam razia tersebut, polisi menangkap 65 anak punk kemudian ditahan dan dikirim ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar, untuk dibina selama 10 hari, dari 13–23 Desember 2011. “Pembinaan mereka dan kebutuhan selama pembinaan ditanggung Pemerintah Kota Banda Aceh,” ujar Illiza.
Ia mengaku prihatin menyaksikan puluhan anak punk dari Kota Banda Aceh yang terjaring dalam razia penertiban oleh tim gabungan dari Kepolisian Resor Kota dan Pemerintah Kota Banda Aceh. Menurutnya, kehidupan yang mereka jalani saat ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. “Jika kita biarkan, perilaku mereka akan mempengaruhi generasi muda Aceh lainnya,” katanya.
Pembinaan adalah upaya menyelamatkan anak-anak bangsa. Semua masyarakat harus mendukung upaya tersebut. “Ini untuk kebaikan mereka sendiri, tidak akan melanggar hukum.”
Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Inspektur Jenderal (Irjen) Iskandar Hasan, mengatakan keberadaan anak-anak punk di Aceh telah meresahkan masyarakat. Mereka ditangkap karena dinilai telah menyimpang dari moral-moral yang dianut masyarakat Aceh yang kental nuansa keagamaan. “Kita ingin mengembalikan mental mereka, kita bina di SPN Seulawah,” kata Iskandar.
Di Sekolah Polisi itu, semua anak-anak punk digunduli rambutnya dan ditempa mental. “Ini untuk kepentingan mereka dan tidak melanggar HAM,” ujar Iskandar.
Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh Hospi Novizal Sabri mengatakan akan mendampingi anak punk yang ditangkap polisi. Menurutnya, LBH sejauh ini belum mendapat laporan maupun pengaduan dari komunitas punk di Aceh. “Kami tidak setuju dengan penangkapan itu,” katanya.
Alasan ketidaksetujuan LBH didasarkan pada penilaian kesalahan apa sebenarnya yang dilakukan oleh anak-anak punk itu. “Kalau buat acara tak ada izin, acara dibubarkan, bukan ditangkap. Kalau ada narkoba dalam acara itu, yang ditangkap person, bukan secara komunal,” ujar Hospi.
LBH akan mempertanyakan sikap kepolisian melakukan penangkapan dan pembinaan terhadap anak-anak punk di Aceh. “Kita baru akan melakukan koordinasi dengan polisi terkait hal tersebut,” ujarnya.
ADI WARSIDI