TEMPO Interaktif, Jakarta -Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Abdul Hafidz Anshari, menyatakan surat jawaban asli Mahkamah Konstitusi diterima langsung oleh sekretaris komisioner, Matnur, dan disimpan di sekretariat Andi Nurpati yang ketika itu masih menjabat sebagai salah seorang komisioner KPU. Surat putusan yang dimaksud adalah surat Mahkamah Konstitusi nomor 112/PAN MK/2009 tertanggal 17 Agustus 2009.
"Belakangan baru saya tahu. Tapi bukan dia (Andi nurpati) yang menyimpan. Matnur yang menyimpannya," kata Hafidz saat bersaksi dalam sidang atas terdakwa Mashuri Hasan (staf Andi Nurpati), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 3 November 2011.
Menurut Hafidz, surat asli Mahkamah diketahui berada di sekretariat salah satu komisioner, dalam hal ini Andi Nurpati, ketika diadakan rapat pada 15 September 2009. Waktu itu, Hafidz memanggil Matnur dan menanyakan perihal surat asli MK tersebut, apa benar surat itu diterima Matnur. "Dia (Maknur) bawa lengkap (suratnya) dengan amplopnya," ujarnya.
Hafidz juga menanyakan alasan Matnur menyimpan surat itu di sekretariat milik komisioner, Andi Nurpati. "Saya tanyakan kenapa disimpan, katanya disuruh Andi Nurpati agar disimpan, begitu saja jawabnya," ucapnya.
Namun, Andi Nurpati tak menghadiri rapat pada 15 September tersebut dengan alasan pulang ke kampung halaman karena pada saat itu menjelang hari raya Idul Fitri. Setelah Andi Nurpati masuk kantor, Hafidz kembali menanyakan ihwal alasan disimpannya surat itu.
"Dia (Andi Nurpati) menjawab bahwa tidak yakin surat itu resmi dari MK, karena surat itu tidak ada stempelnya," kata Hafidz. Hafidz pun menyatakan pernah membuka surat asli itu dan memang tidak ada stempel di surat itu.
Menurut Hafidz, diterimanya surat itu langsung kepada sekretaris komisioner jelas tidak lazim. Dalam kebijakan KPU, sebuah surat yang masuk akan diberikan kepada tata usaha terlebih dahulu lalu masuk ke staf Ketua KPU untuk kemudian didisposisi oleh Ketua KPU. Disposisi tergantung kepada isi suratnya. "Dalam konteks ini, kami disposisikan kepada Sekjen lalu ke biro hukum untuk dikaji dan di telaah, baru nanti diberikan ke komisioner," ucapnya.
Adapun kasus surat palsu yang melibatkan Andi Nurpati mencuat lantaran KPU menetapkan kursi untuk calon legislatif Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo. Padahal, sengketa pemilihan umum legislatif di daerah pemilihan Sulawesi Selatan itu sebelumnya ditangani MK, yang menetapkan caleg Partai Gerindra, Mestariani Habi, yang berhak atas kursi di DPR. Tim investigasi internal MK yang mengusut kasus itu menyimpulkan adanya konspirasi antara sejumlah staf MK dan komisioner KPU, Andi Nurpati.
Kasus ini berawal dari persiapan sidang pleno KPU untuk penentuan alokasi kursi yang dilaksanakan pada tanggal 21 Agustus 2009. Anggota KPU saat itu, Bambang Eka Cahya, menemukan perbedaan pada surat keputusan MK yang dia miliki dengan surat yang dimiliki Andi Nurpati. Bambang menyadari perbedaan itu saat Andi Nurpati membacakan surat yang dia miliki.
Bambang memegang Surat Keputusan MK nomor 84/phpu.c/VII/2009 yang menyatakan Dapil Sulawesi Selatan I, Kabupaten Gowa 13.012 suara, Kabupaten Takalar 5.443 suara dan Kabupaten Jeneponto 4.206 suara. Sementara Andi Nurpati memegang surat dengan nomor 112 tertanggal 14 Agustus 2009.
PRIHANDOKO