TEMPO Interaktif, - Rany Sri Wahyuni Rahman, siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama (SMP) 8, Makassar, tampak asyik memperhatikan ningyou, boneka yang terbuat dari kain flanel. Boneka dengan karakter perempuan berponi rata dan berkimono ini terpajang di meja pameran.
Dari meja tersebut, Rany berpindah ke meja lain. Kali ini, di gerai milik SMA Muhammadiyah Makassar ia menemukan pohon Tanabata beranting bambu, tempat menggantungkan doa dan harapan.
Di Jepang, Tanabata merupakan tradisi kuno untuk mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen dan perayaan lainnya. Orang-orang menulis harapan dan doa di atas selembar kain atau kertas dan kemudian digantungkan di pohon tersebut. "Tapi kali ini kami juga menggantungkan boneka teruterubozu," ucap Irmawati, guru bahasa Jepang SMA Muhammadiyah. Boneka ini dipercaya dapat menangkal hujan dan biasanya digantungkan di depan pintu rumah orang Jepang.
Pernak-pernik ini merupakan hasil karya siswa SMA yang memiliki mata pelajaran bahasa Jepang di sekolahnya. Para pelajar mengikutkan karya mereka dalam festival budaya Jepang yang digelar di aula SMA Katolik Cendrawasih. Tujuan festival ini untuk memperkenalkan kebudayaan Jepang kepada pelajar, terutama kepada siswa yang tidak memiliki mata pelajaran bahasa Jepang di sekolahnya, seperti Rany.
Peserta pameran datang dari berbagai sekolah di Sulawesi Selatan yang memiliki mata pelajaran bahasa Jepang. Selain itu, menurut ketua pelaksana Rosneneng Juanda, festival ini digelar untuk mendekatkan budaya Jepang dan membiasakan bahasa Jepang di telinga para pelajar. Apalagi saat ini bahasa Jepang dinilai kurang dilirik pemerintah. "Jadi di sini kami mencoba mengenalkan kepada mereka," katanya.
Festival yang diikuti oleh 11 sekolah ini memperlihatkan keahlian mereka dalam memahami budaya Jepang. Seperti halnya Jumriana Tamrin, siswa akselerasi SMA 17 yang menjaga stan sekolahnya. "Di sekolah, bahasa Jepang diajarkan pada siswa kelas XI, sedangkan untuk kelas X dan XII belajar bahasa Jerman," katanya.
Kedua bahasa ini menjadi pilihan mata pelajaran di sekolahnya karena pelajar yang ingin melanjutkan studi ke negara itu harus menguasai bahasa tersebut. "Jadi bukan hanya bahasa Inggris," ujar dia.
Selain bahasa Jepang, Jumriana mempelajari budaya Jepang, seperti cara menggunakan yukata atau baju tradisional Jepang serta cara membuat origami atau seni melipat kertas. "Origami kami berikan kepada setiap pengunjung di stan kami," katanya. Tidak hanya itu, SMA 17 membentuk kegiatan ekstrakurikuler atau unit kegiatan siswa bernama Jujunana, dari bahasa Jepang yang berarti 17.
Unit kegiatan ini menampung seluruh siswa yang senang atau ingin belajar tentang Jepang. Mereka diajari cara membaca aksara katakana hingga cara membuat manga. "Apalagi, kalau ada festival atau perlombaan seperti ini, anggota kami berlatih secara intens sebulan sebelum acara," katanya.
Pertemuan kelompok ini dilakukan sekali dalam sepekan, yakni pada hari libur atau hari Minggu. Sementara Jumriana memilih masuk ke unit kegiatan siswa Jujunana, Lieny Angel Laury, siswa SMA Katolik Rajawali, cukup mengikuti pelajaran bahasa Jepang di sekolahnya. "Kalau untuk belajar tambahannya saya memilih kursus," kata Lieny, yang telah kursus selama 2 tahun di Kaori, lembaga bahasa dan budaya Jepang.
Kini Lieny mampu menyanyikan lagu Jepang. Saat festival, ia merupakan salah satu peseta lomba menyanyi. Adapun lagu dengan tempo cepat yang dipilihnya berjudul Hikari , lagu milik Baby Stars. Lagu ini bercerita tentang seseorang yang menjalani hidup apa adanya.
Sementara itu, Tiffani Wongso, siswa lainnya, mengenal bahasa Jepang dari komik. Sejak SMP ia rajin memperhatikan nama pada komik dan film untuk dicocokkan dengan lafalnya. "Misalnya, pada nama Naruto, terdapat tiga aksara katakana, yakni huruf Na, Ru, dan To. Selanjutnya terus belajar dan di SMA ternyata ada mata pelajarannya," ujarnya.
Lieny dan Tiffani mendapat beasiswa sekolah ke Jepang pada bidang pengetahuan dan bahasa. Tapi karena umurnya belum genap 17 tahun, mereka tidak mendapat izin.
| KAMILIA