TEMPO Interaktif, Jakarta - Koalisi Advokasi Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara menilai Draf RUU Intelijen Negara yang telah disepakati semua fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, masih menyisakan ruang multi tafsir dalam penerapannya. Pasal-pasal dalam draf tersebut juga dinilai masih mengancam kebebasan masyarakat.
“Ada ruang multi tafsir dalam penerapannya, masih mengancam kebebasan masyarakat sipil, dan masih memberikan ruang keterlibatan intelijen di lembaga hukum,” kata Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang tergabung dalam koalisi, dalam jumpa pers di kantor Kontras, Jakarta, Jumat 30 September 2011.
Haris mengemukakan sejumlah catatan dalam RUU Intelijen, misalnya soal ancaman pemidanaan bagi setiap orang yang membocorkan rahasia intelijen. Menurut dia, penggunaan kata "setiap orang" tidak tepat. Karena kalau aturan ini disahkan, berati setiap orang berpotensi untuk dipidana.
“Pencantuman kata setiap orang itu tidak tepat karena ini adalah Undang-Undang intelijen,” kata Haris. Selain itu, kata dia, juga harus diatur bagaimana membangun lembaga intelijen terkait ingformasi yang membayahakan kepentingan nasional.
Dia juga mengkritik soal kewenangan intelijen melakukan pendalaman informasi. Istilah "pendalaman informasi” menurutnya, hanya mengubah istilah sebelumnya, dari penangkapan, penanganan, dan pemeriksaan intensif.
Jika menoleh pada kejadian di tahun 1965, Haris mengaku khawatir nantinya intelijen bisa menangkap orang dengan mudah dengan alasan pendalaman informasi itu. Seperti tahun 1965, banyak orang dipanggil untuk pendalaman informasi, tetapi akhirnya mereka ditahan.
Haris juga menyoroti soal wewenang penyadapan. Dalam aturan soal penyadapan dijelaskan intelijen bisa menyadap dengan catatan disertai minimal dua alat bukti. Padahal dua alat bukti itu mengacu pada KUHAP (Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan itu masuk kewenangan polisi. “Artinya, pasal itu multi tafsir. Yang paling buruk, lembaga intelijen bisa mengintervensi lembaga penegak hukum dengan alasan untuk penyadapan."
RINA WIDIASTUTI