TEMPO Interaktif, Jakarta - Perdebatan soal pemberian wewenang penyadapan oleh lembaga intelijen sampai saat ini masih bergulir. Menurut dua lembaga pegiat hak asasi manusia, KontraS dan Imparsial, pasal penyadapan dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen yang saat ini sedang digarap Dewan Perwakilan Rakyat harus benar-benar dicermati.
Menurut Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, wewenang penyadapan di RUU Intelijen tidak boleh bertabrakan dengan kewenangan serupa di undang-undang lain, misalnya UU Tindak Pidana Terorisme yang menyebutkan penyadapan harus mendapatkan izin kepala pengadilan.
"Sedangkan versi Rancangan Undang-Undang Intelijen, penyadapan cukup dengan persetujuan Kepala BIN. Ini nanti akan menimbulkan tabrakan di lapangan," kata Poengky dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR, Senin 26 September 2011.
Koordinator KontraS Haris Azhar juga menilai penyadapan harus dilarang jika tidak diatur secara rigid, supaya tidak disalahgunakan untuk kepentingan penguasa (abuse of power). "Dibolehkan penyadapan kalau diatur rigid dan terukur. Otoritasnya harus ke pengadilan setempat," ujar dia.
Selain diatur secara rigid dan terukur, Haris menyatakan harus ada kurun waktu bagi aparat intelijen untuk melakukan penyadapan. "Termasuk meregister alat penyadapan dan metodenya di pengadilan. Ini penting kalau nanti penyadapan merugikan hak-hak orang lain."
Adapun secara pendekatan legal formal, Haris berpendapat aturan penyadapan dalam RUU Intelijen tidak boleh bertabrakan dengan sejumlah undang-undang lainnya. Di antaranya, UU Informatika serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
MAHARDIKA SATRIA HADI