TEMPO Interaktif, Jakarta - Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi, meminta program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah jangan hanya terbatas di tingkat penyelenggaraan seminar saja, namun harus menyentuh sampai di level masyarakat.
"Kalau mau cepat, BNPT harus bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama, serta pemerintah daerah, memberikan penjelasan soal radikalisme," ujarnya usai penandatanganan kerja sama program deradikalisasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kamis, 11 Agustus 2011.
Menurut Hasyim, masyarakat mayoritas yang belum memiliki paham radikal maupun mereka yang sudah tercemar paham radikal, belum tertangani secara langsung melalui program deradikalisasi ini. Kalau program ini hanya sampai di tingkat seminar, kata dia, hanya menghasilkan wacana yang tidak nyata. Agar program ini lebih cepat, pemerintah harus mengkoordinasikannya sampai ke tingkat kabupaten dan kota. "Radikalisme itu permanen karena pahamnya," ujarnya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme hari ini menggandeng delapan institusi Islam untuk melakukan program deradikalisasi. Penandatanganan nota kesepahaman program tersebut dilakukan Kepala BNPT Ansyaad Mbai. Delapan lembaga Islam yang digandeng di antaranya, Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok, milik Hasyim Muzadi; Lembaga Pengembangan Pendidikan dan SDM; Institut Agama Islam Negeri Surakarta; Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian; Lembaga Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Islam; Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Umat dan Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia.
Menurut Hasyim, bagi mereka yang memiliki paham radikal, salah satu cara mengubahnya adalah dengan mengajak mereka berdialog. Tapi kalau dirasa tidak cukup dengan dialog, ada mekanisme hukum yang harus dijalankan. Setelah itu, pemerintah bisa mengambil langkah represif. "Hukum harus berjalan setelah de-ideologi. Yang integrated system belum dilakukan."
Baca Juga:
Radikalisme, kata Hasyim bukan hanya berlatarbelakang agama. Ini bisa dilihat dari bentrokan yang kerap terjadi di masyarakat, seperti bentrokan antarsuku, bahkan antarmasyarakat di tingkat RW yang timbul masalah sedikit bisa langsung membunuh. Ini pertanda sikap radikal muncul sebagai reaksi dari kemiskinan, ketidakadilan, dan pengangguran yang terjadi. "Harus ada brainstorming oleh orang-orang yang dipercaya di sekitar mereka."
Sedangkan Ansyaad Mbai mengatakan cara fisik tidak cukup untuk menangani radikalisme dan tingkah radikal yang muncul di masyarakat. Pemerintah juga tidak bisa melakukan sendiri pencegahan radikalisme, terutama tindakan yang bermotif agama. Karena itulah, pemerintah menggandeng institusi-institusi keagamaan. "Ideologi ini muncul karena pemahaman yang dangkal dan penafsiran yang keliru dan itu yang harus diluruskan," kata dia.
BNPT, kata Ansyaad, baru memprioritaskan untuk menggandeng para tokoh Islam karena ada pemahaman yang keliru, misalnya terkait jihad. "Tapi bukan yang lain tidak penting. Masyarakat internasional juga sudah mengajak dialog." ujarnya seraya mengharapkan para tokoh agama bisa ikut mencegah radikalisme di masyarakat.
ALWAN RIDHA RAMDANI