TEMPO Interaktif, Jakarta - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Budi Susilo Supandji menilai pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan penggunaan hard power (kekerasan) dalam penanganan tindak pidana terorisme belum diperlukan. Peran Kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menurutnya cukup untuk saat ini, terutama untuk melakukan deradikalisasi dan penindakan hukum. "Dalam situasi sekarang baik-baik saja ya tidak perlu. Saat ini mengoptimalkan BNPT dan polisi saja cukup," katanya di kantor Lemhannas Jakarta, 1 Agustus 2011.
Budi mengatakan saat ini yang perlu ditekankan adalah tindakan pencegahan, deradikalisasi, dan penegakan hukum. "Jadi lebih mengutamakan polisi," ujarnya, TNI, menurut Budi, diturunkan dalam konteks ultimum remedium atau sebagai pilihan tindakan terakhir. TNI akan dilibatkan jika terjadi ancaman terorisme yang masif dan berskala besar. Saat aparat sipil dan kepolisian diperhitungkan tidak mampu lagi mengatasi ancaman itu.
Misalnya jika ada serangan yang dilakukan serentak di beberapa daerah sekaligus. Atau jika ditemukan kapal yang memasuki wilayah Indonesia dengan membawa persenjataan. "Kan tidak mungkin sipil dengan Gubernur Lemhannas hanya berdoa. Harus dibantu dengan kekuatan senjata," katanya.
Budi menilai situasi ancaman tindak terorisme saat ini fluktuatif. Tidak banyak terjadi serangan besar. Ia bahkan berpendapat situasi saat ini cenderung baik-baik saja. Ia juga optimistis eskalasi situasi ini tidak akan meluas dan mencapai kondisi yang masif.
Dalam situasi ini tindakan-tindakan yang bertujuan pada deradikalisasi, penegakan hukum, dan melibatkan peran sipil sebesar mungkin jauh lebih efektif. Tapi TNI pun bisa dilibatkan untuk dimintai masukan bagaimana melakukan deradikalisasi karena ia dianggap berpengalaman dalam mengatasi konflik teritorial.
Hal ini sudah dilakukan dengan menempatkan personel TNI di dalam struktur organisasi BNPT. "Contohnya deputi pencegahan dan perlindungan radikalisasi berasal dari TNI Angkatan Darat," katanya.
Sebaliknya Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Tito Karnavian menyatakan tindak terorisme justru diperkirakan mencapai titik tertinggi pada tahun ini. Meskipun kualitas serangan teror kecil-kecil, dari segi kuantitas cukup banyak. Selama 2011 sudah sekitar 70 pelaku terorisme ditangkap, padahal baru setengah tahun berjalan.
Tahun lalu pelaku teroris yang akhirnya dibawa ke pengadilan paling banyak, yaitu 103 orang. "Ini menunjukkan ancaman terorisme belum selesai, belum berakhir. Meski tidak ada ancaman skala besar tapi dari segi kuantitas serangan lebih banyak," ucapnya.
Yang mengkhawatirkan lagi pelaku-pelaku terorisme, yang dalam pemetaan polisi disebut generasi ketiga ini, tidak memiliki kaitan langsung dengan pelaku generasi pertama yang mendapat pelatihan di Mindanao dan Afganistan atau dari generasi kedua yang mendapat pelatihan dari generasi pertama. Mereka ini, kata dia, lebih banyak belajar dari Internet, tulisan, buku, dan lainnya.
"Hanya sedikit sekali yang memiliki kontak langsung dengan struktur utama terorisme," katanya. Ini menunjukkan efektivitas penanganan tindak terorisme belum maksimal. Polisi sejauh ini lebih banyak memangkas gunung es, pelaku-pelaku di lapangan, tapi tidak mengatasi kelemahan utama dan akar terorisme yaitu penyebaran ideologi radikal.
KARTIKA CANDRA