TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengajukan gugatan praperadilan terhadap Markas Besar Kepolisian lantaran menghentikan kasus tayangan infotainment "Silet". Komisi Penyiaran menganggap penghentian kasus itu tidak beralasan. "Penghentian kasus ini aneh dan terkesan tergesa-gesa," kata Dwi Ria Latifa, pengacara KPI, saat mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 28 Juli 2011.
Dwi Ria mengatakan, kepolisian seharusnya memenelaah sejumlah alat bukti yang diajukan KPI. "Tidak langsung menyebut bahwa kasus tidak cukup bukti untuk dilanjutkan," kata Dwi Ria.
"Silet" adalah salah satu program televisi yang ditayangkan RCTI. Acara itu menayangkan prediksi letusan Gunung Merapi Yogyakarta berdasarkan pengamatan sejumlah paranormal pada pertengahan 2010. Akibat tayangan itu, KPI menerima 1.128 aduan masyarakat termasuk dari Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Surat-surat pengaduan itu berisi keberatan dan keresahan masyarakat atas tayangan itu.
KPI akhirnya melaporkan "Silet" ke Markas Besar Polisi November 2010. Mereka menganggap tayangan itu menyesatkan dan melanggar Undang-Undang Penyiaran. Menurut Dwi Ria, sejumlah pengadu seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X bersedia memberi kesaksian ke polisi. Namun, polisi yang justru tidak bersedia memeriksanya.
"Kenapa polisi mau memeriksa Anas (Ketua Umum Partai Demokrat) sebagai pelapor di Blitar, sedangkan terhadap saksi kami polisi tidak mau," kata Dwi Ria. "Kepolisian jangan semena-mena."
Ia berharap pengadilan bisa mengabulkan gugatannya, sehingga proses hukum tayangan "Silet" bisa dilanjutkan. Menurut Dwi, proses hukum ini cukup penting karena bakal menjadi tolok ukur bagi KPI mengawasi tayangan televisi di Indonesia. "Agar pengusaha televisi memberikan tayangan sehat bagi masyakat, tidak ada lagi tayangan semaunya yang meresahkan masyarakat," kata Dwi Ria.
TRI SUHARMAN