TEMPO Interaktif, Jakarta - Pimpinan instansi penegak hukum menandatangani pernyataan bersama untuk memberi perlindungan terhadap peniup peluit (whistle-blower) dalam pengungkapan tindak pidana. Saksi korban maupun pelaku diharapkan tidak ragu menjadi pengungkap tabir kejahatan.
Penandatanganan dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa, Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Ketua KPK Busyro Muqoddas, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai. Penandatanganan juga disaksikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Joko Suyanto serta Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto.
Menurut Abdul Haris, whistle blower berperan penting dalam pengungkapan kasus sehingga perlu ada penanganan khusus untuk mereka, terutama dalam kejahatan terorganisasi. Dikatakan Harifin, pembuktian kejahatan hukum tidak mudah. "Bukti bisa direkayasa, saksi dari kolega maupun keluarga menghindar. Kalaupun jadi saksi karena terpaksa," ucapnya.
Hal ini sebenarnya diatur dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi. "Sudah eksis, tapi belum dibuat turunannya," kata Abdul Haris. Oleh sebab itu, melalui penandatanganan pernyataan bersama akan dibuat kriteria peniup peluit, serta penentuan lembaga otoritas penentu bahwa seseorang termasuk whistle blower. Meski landasan hukum rinci tentang otoritas ini belum ada, kata Patrialis, idealnya yang menjadi penentu adalah hakim. "Namun, sebelumnya dalam proses penyidikan dan peradilan ada bahan pertimbangan dari jaksa," Patrialis menimpali.
Jenis pengungkap kejahatan yang dilindungi ada dua, yaitu justice collaborator dan whistle blower. Justice collaborator merupakan pihak yang menjadi bagian dari kelompok kejahatan, sedangkan whistle blower bisa berasal dari luar kelompok ataupun dari dalam kelompok itu. "Akan kami bedakan perlakuan bagi mereka," kata Abdul Haris.
Bagi whistle blower yang merupakan bagian dari sistem kejahatan, kata Harifin, akan ada pertimbangan untuk diberi keringanan. "Kami akan keluarkan surat edaran agar hakim melaksanakan ketentuan ini. Mudah-mudahan Agustus ini sudah bisa kita edarkan," katanya. "MA mengatakan akan beri grasi, itu terobosan," kata dia.
LPSK nantinya akan membantu sosialisasi edaran ini pada pengadilan-pengadilan tinggi di daerah-daerah. Keputusan perkara akan dibuat komprehensif antara pelaku yang mau bekerja-sama dengan yang tidak. "Akan ada gradasi yang jelas," kata Abdul Haris. Hingga kini, kata dia, baru ada kurang dari 10 whistle blower di Indonesia. Misalnya, Susno Duadji dan Agus Tjondro.
ATMI PERTIWI