TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Mantan Kepala Badan Intelijen Negara, AM Hendropriyono mengatakan kelemahan Rancangan Undang-undang Intelijen yang kini tengah dibahas di DPR adalah masih belum adanya materi mengenai aturan pola kerja intelijen. Materi rancangan yang ada, baru mengatur badan intelijen saja. “RUU ini terlalu fokus pada lembaganya, bukan intelijennya,” ujarnya di Yogyakarta, Senin 18 Juli 2011
Menurut Hendro, seharusnya undang-undang itu nantinya lebih banyak mengatur persoalan masalah kinerja intelejen secara perorangan. Hal itu agar dalam menjalankan tugasnya, aparat intelijen tidak melanggar batas kejujuran dan melakukan rekayasa. Dia menegaskan aparat intelijen bukanlah penegak hukum melainkan orang yang mengabdi untuk kepentingan negara.
“RUU intelijen harus dikaitkan dengan hukum (aturan yang membatasi kerja-kerja seorang intel). Itu pegangannya,” kata purnawirawan jenderal bintang tiga itu.
Terkait pasal-pasal yang memperbolehkan intersepsi dan penahanan, kata dia, harus ditambahi syarat terpenuhinya unsur situasi kedaruratan. “Maksudnya, itu diperbolehkan jika ada kondisi yang memperbolehkan adanya situasi hampa hukum. Itu seperti tomotus atau kondisi mirip tumor yang mau meletus,” kata dia.
Sementara mengenai pembagian tugas intelijen antara BIN dan aparat intelijen lainnya, dia menilai sulit untuk membaginya. Menurutnya, Indonesia tidak bisa disamakan dengan Amerika yang memposisikan negaranya sebagai polisi dunia.
Karena itu, BIN tak bisa hanya diberi porsi untuk persoalan yang terkait masalah luar negeri Indonesia saja. Sementara Densus 88 Polri, misalnya, mengatasi masalah dalam negeri. "Sebaiknya semua terfokus ke dalam negeri. Seharusnya BIN jadi koordinator seluruh intelijen di Indonesia," kata Hendro.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM