TEMPO Interaktif, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengungkapkan keuangan 124 daerah otonom tengah dilanda krisis. Pasalnya, lebih dari 60 persen total anggarannya dipakai untuk membayarkan gaji pegawai.
"Sebanyak 16 daerah bahkan memiliki belanja pegawai di atas 70 persen," kata Sekretaris Jenderal Fitra, Yuna Farhan, dalam siaran pers melalui surat elektronik, Minggu 3 Juli 2011.
Karena sebagian besar anggaran daerah tersedot untuk membayar pegawai, menurut Fitra, anggaran untuk pembangunan dan peningkatan pelayanan publik otomatis berkurang. Akibatnya, tujuan dasar otonomi daerah untuk mendekatkan pelayanan publik tak tercapai, "Sulit tercapai karena semakin besarnya ongkos tukang," ujar Yuna.
Setelah era otonomi daerah bergulir, Indonesia kini memiliki 497 daerah otonom setingkat kabupaten dan kotamadya.
Menurut kajian Fitra, anggaran daerah untuk membayarkan gaji pegawai cenderung meningkat. Pada 2007, rata-rata daerah mengalokasikan 44 persen anggarannya untuk belanja pegawai. Tiga tahun kemudian, alokasi untuk gaji pegawai menjadi rata-rata 55 persen.
Ironisnya, dalam kurun yang sama, belanja modal mengalami penurunan dari 24 persen menjadi 15 persen.
Situasi besar pasak daripada tiang ini, menurut Fitra, membuat sejumlah daerah terancam bangkrut. Kebangkrutan daerah-daerah itu, kata Yuna, bisa terjadi dalam dua sampai tahun mendatang, "Kalau tak ada revolusi atau moratorium."
Ancaman kebangkrutan membayangi 16 daerah tingkat II yang anggaran belanja pegawainya di atas 70 persen. Di antara 16 daerah itu, Kabupaten Lumajang paling banyak menghabiskan kas daerahnya untuk pegawai. "Belanja pegawainya 83 persen, sedangkan belanja modalnya hanya 1 persen," kata Yuna.
Melihat tren keuangan daerah seperti itu, Fitra mendesak pemerintah segera mengubah aturan tentang dana perimbangan daerah dan pusat dengan berbasis produktivitas. Pemerintah harus menciptakan formula yang memberi insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan pendapatannya dan mengurangi belanja pegawainya.
Menurut Fitra, ketidakseimbangan anggaran di daerah juga tak lepas dari kebijakan pegawai yang diatur Kementerian Keuangan, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, dan instansi lain.
Tiga kebijakan yang dinilai merusak adalah remunerasi (tunjangan khusus kinerja aparat), kenaikan gaji berkala yang diikuti gaji ke-13, dan rekrutmen pegawai negeri yang jor-joran.
Fitra mengkritik pemberian remunerasi atas nama reformasi birokrasi. "Itu terbukti tak mengurangi perilaku korupsi birokrat," ujar Yuna. Padahal, anggaran remunerasi sangat besar. Yuna mencontohkan, remunerasi yang bisa diterima eselon I di Kementerian Keuangan bisa mencapai Rp 46,9 juta.
Perekrutan pegawai negeri sipil, menurut Fitra, juga tak mempertimbangkan pembengkakan beban belanja pegawai. "Seperti pengangkatan sekretaris desa menjadi pegawai negeri sipil," dia menjelaskan.
DIANING SARI
Daerah dengan Belanja Pegawai Tertinggi
1 Kota Tasikmalaya = 70 persen
2 Kabupaten Klaten = 70 persen
3 Kota Bitung = 70 persen
4 Kota Padang Sidempuan = 70 persen
5 Kabupaten Sragen = 70 persen
6 Kabupaten Purworejo = 70 persen
7 Kabupaten Pemalang = 70 persen
8 Kabupaten Kulon Progo = 71 persen
9 Kabupaten Bantul = 71 persen
10 Kabupaten Kuningan = 71 persen
11 Kota Palu = 71 persen
12 Kabupaten Simalungun = 72 persen
13 Kabupaten Agam = 72 persen
14 Kota Ambon = 73 persen
15 Kabupaten Karanganyar = 75 persen
16 Kabupaten Lumajang = 83 persen