TEMPO Interaktif, Jakarta - Tepat pukul 15.45, Erwin Arnada Pemimpin Redaksi Majalah Playboy dibebaskan dari tahanan Lembaga Pemasyarakatan, setelah menjalani penahanan sejak 9 Oktober tahun lalu.
Sambil mengurai senyuman lebar, ia mengangkat tangan membentuk huruf V (Victory), Erwin terlihat muncul di pintu portir Lembaga Pemasyarakatan Cipinang didampingi tim kuasa hukumnya. Begitulah cara Erwin mengekspresikan kegembiraannya bisa kembali menghirup udara bebas. "Yang paling penting adalah saya tidak menganggap diri korban bukan juga pahlawan, tapi saya ini bagian sejarah untuk kebenaran dan kemerdekaan pers.," katanya kepada wartawan di LP Cipinang, Jumat 24 Juni 2011.
Menggunakan kaos berwarna abu-abu dan hitam bertuliskan Journalism is Not A Crime, Cipinang Prison 2010, Erwin bercerita akan mengunjungi makam ibunya sebagai ungkapan syukur sebagai hal yang pertama kali akan dilakukannya setelah menghirup kebebasan. "Setelah ini saya belum ada rencana apa-apa, yang jelas masih akan tetap membuat media dan memproduksi film," kata Erwin.
Erwin pun berharap tidak akan ada lagi pers yang menjadi korban kriminalisasi dan terancam pasal-pasal pidana. "Saya pikir tulisan di kaos saya sudah membicarakan apa yang ingin saya sampaikan," kata Erwin.
Kuasa hukum Erwin, Todung Mulya Lubis menyatakan kebebasan Erwin hari ini bukan semata-mata kemenangan kliennya, melainkan juga kebebasan pers. Karena putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung menegaskan Undang-undang Pers merupakan lex spesialis dan harus digunakan dalam setiap kasus pers. Tidak boleh digunakan undang-undang lain. "Ini yurisprudensi yang sangat bagus. Saya bersyukur dan memberi apresiasi Mahkamah Agung yang tetap membela kebebasan pers," katanya.
Sebelumnya sekitar pukul 15.20 WIB, Arya Wicaksana dan rekan-rekan jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan keluar dari LP Cipinang. Tak mau diwawancara, rona muka mereka pun tampak kurang senang karena Erwin akhirnya bisa bebas hari ini.
Sebelumnya, pihak Kejaksaan sempat menolak berangkat untuk proses eksekusi pelaksanaan Peninjauan Kembali karena salinan petikan putusan Mahkamah Agung dianggap tidak ada perintah pembebasan dan tidak lengkap.
ARYANI KRISTANTI | FRANSISCO ROSARIANS