TEMPO Interaktif, Bandung - Raja dan sultan dari seluruh daerah di Indonesia akan berkumpul di Bandung. Mereka akan mengikuti Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara II yang akan digelar di Gedung Merdeka selama 2 hari mulai Sabtu, 25 Juni 2011. ”Raja dan sultan se-nusantara tidak akan membahas masalah politik,” kata Ketua Badan Pekerja Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara, Sultan Sepuh IV Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat, di Bandung, Kamis, 23 Juni 2011.
Arief mengatakan bahwa sebagian sudah tiba di Bandung. Mereka akan diundang makan malam bersama Gubernur Ahmad Heryawan di Gedung Sate pada Jumat, 24 Juni 2011. Ratusan undangan yang terdiri dari raja, sultan, putra mahkota, dan putri mahkota yang akan mengikuti Silaturahmi Nasional itu akan hadir dengan pakaian adat kerajaannya masing-masing. Wakil Gubernur Dede Yusuf yang masih keturunan trah Panjalu dari Kerajaan Galuh di Ciamis ikut hadir menggunakan pakaian adat kerajaan itu.
Silaturahmi Nasional Raja Nusantara ini pertama kali digelar pada 30 Agustus 2009. Ketika itu dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Pada pertemuan kedua ini, bukan lagi Presiden Yudhoyono yang membuka, tapi Wakil Presiden Boediono yang akan didampingi oleh Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Jero Wacik serta Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Arief mengatakan pertemuan para raja itu diisi oleh serangkaian pertemuan untuk membahas kelanjutan realisasi rekomendasi yang pernah dihasilkan dalam pertemuan silaturahmi nasional sebelumnya. Silaturahmi Nasional akan ditutup dengan rapat pleno para raja dan sultan untuk membuat rekomendasi.
Sekretaris Jenderal Badan Pekerja Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara Raja Samu Samu II Upu Latu ML Benny Ahmad Samu Samu menjelaskan bahwa ada lima rekomendasi yang dikeluarkan dalam silaturahmi nasional pertama. Di antaranya, mengembalikan identitas para raja dan sultan, meminta pemerintah mengembalikan sejarah kerajaan dan kesultanan di nusantara ke sekolah, meminta agar dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Adat, serta meminta pemerintah menjadikan raja dan sultan sebagai mitra pemerintah.
Benny mengatakan bahwa saat ini status raja dan sultan setelah Indonesia menjadi republik dianggap sama dengan rakyat biasa. Padahal, katanya, dalam sejarahnya, moyang para raja dan sultan itu yang memiliki kekuasaan dan wilayah setelah menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia. ”Sehingga kami hanya minta statusnya saja,” katanya. Pun demikian dengan sejarah kerajaan dan kesultanan, yang kini tidak lagi diajarkan di sekolah. ”Kami minta pelajaran sejarah itu dikembalikan ke sekolah-sekolah.”
Menurut Benny, hingga saat ini sudah 196 perwakilan kerajaan dan sultan dari 220 kerajaan yang masuk dalam daftar undangan itu. Total sekitar 300 undangan disebar yang ditujukan kepada raja, sultan, pangeran, permaisuri, dan putri dalam Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara II itu. Hadir di antara undangan itu, keturanan Sultan Syeikh Yusuf dari Kasultanan Kabantenan atau Kerajaan Banten yang menetap di Sri Lanka dan Cape Town, Afrika.
Di antara undangan yang bakal hadir nanti, termasuk raja dan sultan dari negara tetangga, yakni Ratu Kesultanan Sulu dari Filipinan yang kini tinggal di Inggris serta Raja Muda Kesultanan Kabuntalan dari Mindanao. ”Mereka sudah ada di Bandung sekarang,” kata Benny.
Benny mengatakan para raja itu akan mengulangi prosesi Historical Walk pemimpin negara dalam Konferensi Asia Afrika. Para raja dan sultan itu akan berjalan dengan pakaian adat dan atribut kerajaannya masing-masing dari Hotel Savoy Homan menuju Gedung Merdeka sebelum membuka Silaturahmi Nasional itu. ”Ini kesempatan bagi warga Bandung untuk menyaksikan secara kolosal,” katanya.
Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf mengatakan saat ini tengah didorong Undang-Undang Ketahanan Bangsa. Kultur, budaya, adat, dan agama menjadi bagian dari parameter ketahanan bangsa. ”Dalam kaitan ini, pemerintah mendorong agar para raja dan sultan se-nusantara bertemu dan bersilaturahmi karena mereka mewakili berbagai suku, agama, budaya, ras, dan etnik,” katanya.
AHMAD FIKRI