TEMPO Interaktif, Jakarta - Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Teten Masduki, menyatakan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi belum mencakupi soal ekstradisi. Padahal, dalam United Nation Convention Against Corruption yang sudah diratifikasi Indonesia sejak tahun 2007 lalu menyebut soal upaya ekstradisi untuk koruptor yang bersembunyi di luar negeri. "Itu yang menjadikan lemahnya Inpres ini," ujar Teten kepada wartawan, Selasa, 14 Juni 2011, kemarin.
Menurut dia, apabila ekstradisi itu dimasukkan dalam Inpres, para koruptor yang kabur ke luar negeri yang juga telah meratifikasi konvensi itu, dapat segera dipulangkan. Ia kemudian berharap ekstradisi dapat dimasukkan ke dalam Inpres tersebut tahun depan.
Inpres yang sudah berjalan sejak Mei lalu ini, kata Teten, memang belum berjalan dengan sempurna. Namun, yang menjadi nilai plus dalam Inpres itu yakni adanya poin recovery asset koruptor. "Karena nanti trennya pemberantasan korupsi ke sana bukan hanya menghukum pidana orangnya saja," tutur dia.
Ia melanjutkan, recovery asset maupun ekstradisi koruptor itu bisa berhasil dilakukan dengan kerja sama seluruh pihak. Kementerian Luar Negeri didorongnya untuk bisa bekerja lebih serius. "Indonesia negara yang secara ekonomi-politik kuat, tapi diplomasinya kurang," kata Teten.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Mei lalu menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Instruksi ini, kata Presiden SBY ketika itu, mencakup upaya pemerintah menangani kasus-kasus hukum yang intinya sebagai upaya pencegahan.
RIRIN AGUSTIA