TEMPO Interaktif, Semarang - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mendukung gagasan Nahdlatul Ulama (NU) yang meminta para koruptor harus dihukum potong tangan. Bahkan Ketua Umum MUI Jawa Tengah, KH Ahmad Darodji, meminta agar hukuman potong tangan segera diberlakukan di Indonesia dengan memasukkannya ke dalam hukum positif atau perundangan-undangan.
"Kami sangat berharap hukuman potong tangan masuk dalam undang-undang pemberantasan korupsi," kata Ahmad Darodji di kantornya, Jumat, 27 Mei 2011.
Menurut Darodji, para ulama sudah berijtihad, hukuman pencuri adalah potong tangan. Di dalam Al-Quran, kata Darodji, juga ada ayat yang menyebutkan pencuri laki-laki ataupun perempuan hendaknya dipotong tangannya. Dengan catatan, perbuatan mencuri itu dalam kadar tertentu.
Pada zaman Nabi Muhammad, hukuman potong tangan diberlakukan bagi pencuri dengan nilai minimal empat dirham. "Kalau nominalnya disamakan, saat ini perkiraan saya adalah uang yang dapat digunakan untuk membeli seekor sapi," kata Darodji. "Apalagi koruptor, harus dihukum seberat-beratnya karena mencuri banyak uang rakyat."
Darodji menegaskan, jika diberlakukan hukum potong tangan untuk para koruptor, bukan berarti memberlakukan syariat Islam. Prinsipnya hanya mengambil substansi ajaran agama demi kebaikan bersama. Meski memberlakukan potong tangan, dasar Negara Republik Indonesia tetaplah Pancasila. Sebab, dasar hukum Pancasila sudah final dan tidak bisa diutak-atik lagi.
Hingga kini, sudah ada beberapa perundang-undangan di Indonesia yang mengadopsi hukum Islam, seperti undang-undang perkawinan, undang-undang perwakafan, dan lain-lain.
Terkait pernyataan Ketua NU Said Aqil Siradj yang mengatakan para kiai NU tidak boleh menyalati jenazah para koruptor, Darodji kurang sependapat. Sebab, sebagai sesama orang Islam wajib kifayah untuk menyalatinya. "Umat Islam wajib menyalati saudaranya yang beragama Islam, meski tangannya sudah dipotong akibat melakukan korupsi," kata Darodji.
ROFIUDDIN