Para pelaku pers yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menemukan setidaknya tiga poin yang dianggap mengancam kebebasan pers dalam RUU itu. Pertama, adanya kewenangan badan intelijen untuk melakukan intersepsi tanpa persetujuan pengadilan. Kedua, pasal mengenai pembatasan informasi yang juga merupakan ancaman bagi hak untuk memperoleh informasi. Dan ketiga, pasal yang memberi wewenang BIN melakukan penangkapan selama tujuh hari.
Menurut Agus, pemerintah dan DPR harus memanfaatkan waktu yang ada untuk melakukan harmonisasi pada beberapa pasal dan bukan mematok harus selesai pada Juli nanti. Sebab, dalam draf rancangan itu masih mengandung pasal-pasal karet yang nantinya akan mengundang kontroversi. "Jangan saklek harus selesai Juli nanti. Lebih baik direvisi daripada sia-sia. Sebab, setelah disahkan ada banyak kontroversi dan penolakan dari masyarakat," ujarnya.
Agus juga mengingatkan seluruh elemen masyarakat untuk terus memantau pembahasan RUU tersebut di DPR. ”Kami tidak boleh lengah dan harus mewaspadai RUU khususnya mengenai penyadapan, penangkapan, dan pembatasan informasi," ujarnya.
Di tempat yang sama, Ketua PWI Jakarta Kamsul Hasan mengatakan pada prinsipnya pekerja pers setuju dengan RUU ini jika mendukung demokrasi. Undang-undang tersebut haruslah berisi hak dan kewajiban serta sanksi yang tegas jika ada yang melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan. "Intersepsi atau penyadapan harus ditolak jika tidak ada persetujuan dari pengadilan,” ujarnya. Apabila terjadi penyalahgunaan, misalnya, orang tersebut tidak seharusnya disadap, menurut Kamsul, harus ada peluang untuk mendapatkan haknya menuntut sesuai dengan undang-undang itu.
MUNAWWAROH