Pada awal proses, rancangan perubahan UUD 1945 telah disepakati oleh 11 fraksi MPR. Dalam prinsip-prinsip perubahan itu, sebagaimana terlampir pada Tap MPR Nomor IX/MPR/2000, ke-11 fraksi sepakat untuk tetap akan mempertahankan Pembukaan UUD 1945. Hal-hal lainnya yang disepakati adalah: tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertahankan sistem presidensiil, hal-hal normatif dalam bagian Penjelasan UUD akan dipindahkan ke dalam pasal (badan) UUD, dan perubahan akan dilakukan dengan cara adendum (peralihan). “Dalam UUD yang baru nanti, salah satu yang diusulkan untuk diatur adalah penggunaan sistem bikameral (dua kamar) dalam parlemen,” jelas Tobing.
Anggota Komite Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti menyatakan bahwa sistem bikameral, sebagai salah satu hal penting yang disepakati dalam perubahan UUD, bertujuan untuk menjamin keterwakilan politik rakyat. Sistem dua kamar itu nantinya akan diwujudkan dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat pusat dan Dewan Perwakilan Daerah di tingkat daerah. Dengan demikian, kekuasaan legislatif akan diselenggarakan oleh dua lembaga perwakilan yang memiliki kedudukan setara.
Dalam seminar yang akan diselenggarakan selama dua hari itu, dihadirkan pula para pembicara dari luar negeri. Mereka adalah anggota Dewan Nasional Parlemen dari Namibia, Hon. Michael Hishikushitja, dan Hakim Agung Mahkamah Konstitusi Thailand, Amara Raksasataya. Keduanya diundang untuk membagi pengalaman pelaksanaan perubahan konstitusi di negara mereka sekaligus pengalaman mengenai pelaksanaan sistem bikameral.
Menurut anggota Forum Rektor, mantan rektor Institut Teknologi Bandung 1978-1979, Prof. Soedjana Sapi’ie, penyelenggaraan seminar ini bertujuan untuk menyebarkan gagasan mengenai bicameralism. “Gagasan ini sudah demikian luas berkembang, termasuk di parlemen. Dan jika sekarang masih ada orang di parlemen yang tidak setuju dengan ide ini, saya yakin mereka akan tergilas,” jelasnya.
Pengkajian secara ilmiah terhadap gagasan pelaksanaan sistem dua kamar dalam parlemen di Indonesia masih harus terus dilakukan. Sebab, menurut Tobing, diskusi mengenai Dewan Perwakilan Daerah di PAH I MPR tidak diawali dengan pendekatan literatur-teoritis. Melainkan lebih didasarkan pada kebutuhan yang dianggap perlu dengan rujukan pada nilai-nilai yang ada pada UUD 1945. (Y Tomi Aryanto)