TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga belum mendapat laporan mahasiswanya terkena korban paham gerakan Negara Islam Indonesia meski tak menampik adanya fenomena paham NII di kampus yang mahasiswanya belajar tentang agama itu.
Guna memastikan adanya korban gerakan itu, UIN membentuk tim Crisis Center yang akan dibuka mulai pekan depan. "Kami harapkan dengan dibukanya Crisis Center, para korban melapor kepada universitas sehingga terdeteksi jumlahnya," kata Rektor UIN, Musya Asari, kepada Tempo, Selasa (26/4).
Dengan melapor kepada pihak universitas, menurut Musya, para korban akan didampingi tim psikologis yang disiapkan oleh kampus. "Karena dampak psikologisnya sangat kompleks," ujarnya.
Tak hanya membentuk tim Crisis Center, UIN juga tengah menggodok redesain kurikulum di kampus UIN guna mengantisipasi gerakan paham NII. Caranya, kurikulum pendidikan di UIN akan dirancang berperspektif Indonesia.
"Misalnya di Fakultas Ekonomi, tidak mungkin Indonesia yang menganut ekonomi kerakyatan jika fakultasnya mengadopsi pendidikan barat yang kapitalis," kata Musya.
Redesain kurikulum tidak hanya mengantisipasi gerakan paham NII atau radikalisme di kampus. Musya mengatakan redesain kurikulum ini juga memiliki tujuan besar untuk visi Indonesia ke depan dalam kerangka kemajemukan Indonesia. "Agar agama mampu diaplikasikan untuk menghargai toleransi dan pluralisme," katanya.
Dia menilai paham NII masuk ke kampus-kampus lantaran terjadi frustrasi besar-besaran di semua lini. "Ini karena politik, hukum, budaya, ekonomi di masyarakat dan di kampus yang membuat persinggungan besar bagi mahasiswa," katanya. "Di kampus, mahasiswa mengalami frustrasi karena setelah lulus mau kerja di mana."
Direktur Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada, Sentot Haryanto, menilai redesain kurikulum untuk mengantisipasi gerakan paham NII di kampus UGM tidak mungkin hanya dilakukan di tingkat perguruan tinggi saja. "Itu harus dimulai dari pendidikan TK sampai perguruan tinggi," kata Sentot.
UGM akan melakukan pencegahan dengan melibatkan orang tua untuk memutus mata rantai penyebaran NII di kampus. Terhadap mahasiswa, Sentot juga berpesan agar rekannya tak menerima penitipan tanda tangan saat rekan mereka membolos. "Karena bisa saja mereka titip, padahal mereka membolos ke luar kota untuk baiat," kata Sentot.
Untuk orang tua, Sentot juga berpesan bila anaknya masih kuliah semester awal, namun meminta uang praktik kerja lapangan, diharapkan agar orang tua curiga atas permintaan anaknya. "Ini karena korban NII dimintai uang untuk kegiatan mereka," katanya.
BERNADA RURIT