TEMPO Interaktif, Jakarta - Mabes Polri akan menelusuri perekrutan anggota Negara Islam Indonesia (NII). Selain Pulau Jawa yang menjadi target wilayah garapan, aksi perekrutan terutama juga dilakukan di Jawa Barat.
Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengatakan, yang menjadi target perekrutan umumnya kalangan remaja yang baru masuk perguruan tinggi. "Modusnya, mencuci otak saat mahasiswa baru mengikuti orientasi kegiatan tertentu."
Setelah direkrut, anggota biasanya diwajibkan menyetor sejumlah dana untuk membiayai aktivitas NII. Sebagian dari mereka bahkan dilarang menjalin komunikasi dengan keluarganya. Itu artinya, "Mereka (telah) merampas kemerdekaan seseorang," kata Boy.
Sejak 2009, menurut Boy, polisi sudah memproses 17 perekrut anggota NII ke pengadilan. Mereka sudah divonis dengan hukuman rata-rata 2,5 tahun. Meski demikian, menurut pantauan polisi, juru rekrut NII terus bergerak.
Sejumlah perguruan tinggi di Jawa menerima laporan dari orang tua mahasiswa bahwa anaknya menjadi korban penculikan NII. Sejak 2008, misalnya, ada 15 mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang yang hilang.
Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudjarwadi menyatakan 4 mahasiswanya juga menjadi korban perekrutan NII. Adapun Direktur Kemahasiswaan UGM, Haryanto, menduga korban NII di kampusnya lebih dari 4 orang.
Di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, jaringan NII dikabarkan aktif mencari anggota. "Kami pernah menangani 43 mahasiswa yang didoktrin ikut jaringan NII," kata Abdul Rohman, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Seorang bekas pengikut NII di Surabaya, AN, mengisahkan pengalamannya kepada Tempo. Pria 30 tahun itu pertama kali mengenal NII pada April 2000, ketika baru lulus sekolah teknologi menengah.
Waktu itu AN diajak teman sekolahnya mengikuti pengajian di sebuah rumah yang berkedok padepokan pencak silat. Di ruangan tertutup, AN bersama 5 orang lainnya diceramahi 3 mubalig NII.
Di papan tulis, mubalig NII menggambarkan Indonesia sebagai Mekah. Adapun NII diibaratkan Madinah. Untuk menjadi muslim yang benar, "Orang harus hijrah dari Indonesia ke NII," katanya, mengutip mubalig.
AN lalu diajak hijrah ke Jakarta dengan syarat membayar mahar Rp 1 juta. Dengan uang itu, AN disamakan dengan orang yang menunaikan ibadah haji.
Begitu dibaiat sebagai anggota, AN langsung diangkat sebagai kepala polisi NII Surabaya. "Kata mereka, badan saya kan besar." Di Surabaya, kata AN, waktu itu NII memerlukan beberapa polisi, lurah, dan camat.
Di lain waktu, mubalig NII menyamakan masyarakat Indonesia dengan apel dalam tong sampah. Karena tinggal di tempat najis, segala ibadah orang di luar NII tidaklah sah. "Kalau tak masuk NII, mending tidak usah salat sekalian," kisah AN, kembali mengutip mubalig.
Doktrin tidak perlu salat itulah yang membuat AN goyah. Dia pun tak betah karena pengurus NII sering mendatangi rumahnya untuk menagih uang mahar Rp 1 juta. Bila keluar, AN diancam akan dihukum pancung. Tapi, karena tak tahan, AN akhirnya memilih keluar.
RIKY FERDIANTO | FATKHURROHMAN TAUFIQ | BERNADA RURIT | SOHIRIN