TEMPO Interaktif, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat didesak merombak program legislasi nasional. Pasalnya, selama ini program tersebut dinilai tak efektif dan legislator pun tidak mampu memenuhi targetnya. Tahun lalu, dari target 70 beleid hanya 16 undang-undang yang selesai.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkritik pola penyusunan prioritas yang dilakukan dalam waktu lima tahun. "Program harusnya disusun tahunan bukan lima tahunan karena pada dasarnya hukum seharusnya mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat," ujar peneliti PSHK Rizky Argama dalam diskusi di Alibaba Steak, Jl. Wahid Hasyim, Selasa 15 Maret 2011.
Ia mengatakan semestinya Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah bisa menentukan arah kebijakan mereka tiap tahun. Untuk mengefektifkan mekanisme itu, perlu ada tim di pemerintah maupun parlemen yang bertugas mengumumkan daftar prioritas serta mengolah masukan masyarakat atas rancangan undang-undang yang digarap. PSHK menilai perlu pula ada koridor waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memberi masukan pada pemerintah dan parlemen.
PSHK juga menyarankan adanya reposisi fraksi di parlemen. Fraksi, kata Rizky, hanya diperlukan untuk berkoordinasi, tapi tak mengekang kedaulatan anggota. Pasalnya, kini rakyat langsung memilih legislator, bukan partai, sehingga partai tak sepatutnya mendikte sikap anggotanya di parlemen.
Legislator Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Sundari tak mau parlemen saja yang disalahkan akibat lambatnya proses legislasi. Pemerintah, katanya, berperan besar pula menghambat pembentukan beleid. "Undang-undang yang sudah disepakati diinisiasi pemerintah, malah terkatung-katung," ucapnya.
Ia memisalkan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tak jelas nasibnya selama 12 tahun. "Yang ngedrop itu Kementerian Hukum dan HAM, kita ini di Komisi III (Hukum) nunggu-nunggu terus," katanya.
Eva mengakui ada juga masalah kapabilitas legislasi anggota parlemen. Sebagian besar legislator tak paham bagaimana cara menyusun beleid alias legal drafting. Walhasil di tahun pertama menjabat, mereka masih harus banyak belajar dan tidak bisa cepat membahas antrian Undang-undang.
Selain itu, karena tak ada keharusan meneruskan pembahasan Undang-undang yang tidak selesai di masa periode lalu, maka tiap lima tahun parlemen membahas beleid-beleid itu dari awal lagi.
Adapun soal reposisi fraksi, Eva menyatakan tak setuju. Ia menganggap ideologi partai direpresentasikan melalui garis kebijakan yang diinstruksikan bagi anggotanya untuk memenangkan ideologi tersebut. "Saya ini penganut demokrasi terpimpin," tuturnya.
BUNGA MANGGIASIH